Sabtu, 02 Januari 2016
Parade Hitam
And I love her just like an ivory
As pure as white
As strong as a tusk
Aku selalu menghabiskan siangku sepulang sekolah diarea taman sayap kiri sekolahku. Menghadap langsung lapangan basket yang menjadi destinasi utama siswi Easton High School saat para punggawa bola orange itu sedang berusaha mencetak angka. Hanya berteman buku sketsa dan pensil. Mencoba membunuh waktu, sendiri, tapi itu yang kusukai.
Aku merasakan rumput yg kududuki bergemerisik. Tak perlu menolehpun aku tau siapa sosoknya.
Arkan Zachry. Seseorang yang selalu mengusik ketenanganku dan kanvasku. Seseorang yang selalu membuntuti aku bak anak tak mau kehilangan induknya. Dan satu-satu nya temanku diantara ribuan makhluk sekolah ini yang menganggapku tak ada. Padahal aku seperti sosok kasat mata disekolah ini, tak sepopuler anggota cheerleader seperti Laura dan gank nya, aku juga tak sekaya Anyelir. Menjadi siswi beasiswa di sekolah swasta Internasional bukanlah hal mudah, mengingat sebagian besar murid sekolah ini adalah kaum socialita yang selalu menilai segalanya dari harta. Aku berteman dengannya karena tas nya Gucci, aku berteman dengannya karena ayahnya pemilik jaringan hotel bintang lima dan bla bla bla…… Tapi apa yang membuat sosok seorang kapten basket sekolah ini mau repot-repot menjadikanku teman? Bahkan aku masih sulit percaya dia menyapaku duluan saat perkenalan kami dulu.
"Belum pulang?" Aku hanya menggeleng saat ia bertanya.
"Mau aku anter pulang? Ini udah jam berapa Iva? Kamu kan harusnya udah pulang dari tadi. Kamu nggak kasian orang rumah pasti khawatir kamu belom pulang. Ayok aku anterin!!"
Selalu. Arkan yang berlebihan. Bahkan ia masih dengan peluh menetes -aku yakin dia berlari menghampiri ku dari lapangan basket- didahinya lengkap dengan seragam basket kebanggan sekolah kami.
Aku hanya tersenyum. "Oke aku pulang sekarang" bergegas aku merapikaan alat gambarku dan sebelum ia berucap aku memotongnya "aku bisa pulang sendiri, kak. I'll fine" ucapku meyakinkan. Ia hanya menghela nafas dan mengangguk
Ia memang kakak kelasku. Banyak yang mengira kami memiliki hubungan spesial seperti apa yang disebut pacaran. Dan itu salah besar. Tak jarang aku mendapat teror dan serangan dari penggemarnya, tapi ia selalu siap memasang badan didepanku, menghalau siapa saja yang ingin menyakitiku. Aku menyayanginya dan diapun menyayangiku pula, aku tahu pasti hal itu. Namun keadaan seperti ini lebih indah rasanya untuk kami
***
Aku menginjakan kaki dirumah saat petang. Memutuskan mampir ke pasar seni terlebih dahulu dan membuang penat.
Mengunci pintu kamar dan membanting tubuh diatas kasur. Kuhela nafas kasar, mengapa rasanya masih sesesak ini? Bahkan itu sudah berlalu. Sebegitu sulitkah aku mengikhlaskan? Tapi apa aku terima jika kesedihan ini masih harus ditambah penghianatan? Tanpa bisa kucegah, buliran bening itu telah membasahi pipiku, Aku menangis lagi.
Kuraih figura foto di nakas. Aku yang tersenyum merekah dalam foto itu. Terputar diotakku potongan aku dan masa lalu. Aku kecil tertawa ditengah keluarga yang begitu terlihat penuh rona bahagia. Betapa masa itu sangat kurindukan, saat indahnya hidup yang kurasakan kini menjadi kenangan yang tak akan pernah mungkin terulang. Bagai pelangi yang hilang dihempas badai, membawa pergi rangkaian warna hidupku dan hanya menyisakan hitam.
Aku menangis seorang diri
Hatiku selalu ingin bertemu
Untukmu aku bernyanyi
Ayah dengarkanlah, aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
Lihatlah…. Hari berganti
Namun tiada seindah dulu
Aku tersedu "Iva kangen papa, Iva kangen dipeluk papa, dibacain dongeng, diajak mancing. Iva kangen dimarahin papa kalo nakal, Iva kangen... Iva kangen papa! Iva... " Aku memeluk papa walau hanya dalam gambarnya. Menyerukan betapa aku membutuhkan kehadirannya disini dengan air mata. Aku memerlukannya untuk menguatkanku "Kenapa papa nggak ajak Iva.... Iva sendiri pa disini.... Iva kesepian" isakku
Entah berapa lama aku menangis dan akhirnya tertidur. Terbangun aku mendengar suara ketukan pintu "Iva makan malam sudah siap sayang, mama tunggu dibawah"
Bergegas aku bangun dan mencuci muka. sebelum turun aku melihat layar hp ku yang menyala diatas nakas. Rupanya pesan dari Arkan. Aku tersenyum simpul membacanya. Seandainya aku mempunyai kakak, pasti sekarang kita akan melewati ini bersama.
***
Suasana tak nyaman ini sudah biasa kulalui. Bertahun-tahun. Pernahkah kau merasa bagai orang asing dirumahmu sendiri? Aku merasa seperti berada ditempat yang salah setiap kali keluarga ini berkumpul. Aku seperti berada di dimensi lain. Jiwaku menangis ditengah keramaian ini, aku belum bisa kuat rupanya.
Sejak lelaki-Irvan Armada- itu masuk kedalam keluargaku, saat itu pula ia telah merenggut segalanya dariku. Ia telah menghancurkannya. Aku sudah tak memiliki apa-apa. Aku hanya memiliki kebencian, kebencian yang teramat besar padanya. Dalam mataku, sosoknya hanyalah perusak rumah tangga orang.
Ira, adikku, duduk dalam pangkuannya. Berceloteh pada mama bagaimana indahnya harinya bersama orang itu tadi. Seolah memamerkan pada dunia hal yang tak kumiliki. Ck… aku tersenyum kecut. Bahkan aku tak pernah mengirikan sesuatu yang diraih dengan penghianatan.
Aku membanting garpu “aku slesai” berada disini sedetik lebih lama lagi mungkin aku bisa mati tersiksa.
“Iva habiskan dulu makananmu, nak!” Aku berlalu
“Kak Iva sini dong, kan Ira lagi cerita”
“Gabung dulu Va, om beliin kamu pizza kesukaan kamu tuh” langkahku terhenti
“Bahkan setelah tak dianggap aku masih diminta tinggal?” kebencianku padanya kentara terlihat sejak dulu. Lantas kuberlalu.
Keluargaku memang broken home. Entahlah…… aku masih kecil saat itu. Bukankah tak ada yang lebih menyedihkan saat usia kanakmu harus menerima pil pahit dengan perceraian kedua orangtuamu? Aku begitu terpukul. Itu adalah sebuah hantaman keras yang menamparku telak. Dipisahkan dari orang yang amat kucintai, papa. Memang aku lebih dekat dengan papa daripada mama. Papa selalu mengertiku,memanjakanku, menyayangiku lebih dan lebih. Rupanya itu belum seberapa, mengetahui penyebab kehancuran keluargaku membuatku lebih terpuruk.
Selama ini aku hanya diam. Memendam sakit hati hingga mengerak dan memenuhi hatiku. Aku marah, aku ingin berteriak. Mempertanyakan mengapa didunia ini tak ada yang mengertiku. Mengapa satu-satunya orang yang mengertiku telah dipisahkan secara paksa dariku. Hanya air mataku yang tahu betapa berat aku mencoba bertahan sendiri.
Jika Tuhan masih memberiku kesempatan untuk mencicipi manisnya hidup, aku ingin bertemu papa. Menangis dipelukan hangatnya.
***
Sepulang sekolah arkan memintaku mencarikan kado untuk bundanya yang akan berulang tahun .Aku sampai dirumah sore hari. Ia mengantarkanku hingga depan rumah. Aku turun dari motornya, alisnya terangkat melihat mobil yang terparkir dirumahku. Mobil siapa lagi kalau bukan…….. Mungkin ia heran melihat mobil mewah terparkir dirumahku, mengingat dia tahu kondisi ekonomi keluargaku yang sederhana.
“Mampir dulu kak…” tawarku
“Nggak usah Va, aku langsung pulang aja, udah sore juga, see you gadis berkulit putih gading!” ucapnya diakhiri tawa dan sebelum cubitanku mendarat dilengannya ia telah melesat bersama cagiva merahnya.
Kulitku memang putih pucat seperti gading. Dan dengan usilnya Arkan selalu memanggilku gadis berkulit putih gading, menyebalkan. Mungkin itu alasan mengapa Namaku Ivory, Ivory Al Jazeera. Gadis berkulit putih keluarga Al Jazeera? tapi aku lebih familiar dipanggil Iva.
Berbalik badan aku memasuki rumah, menyiapkan diri memasuki neraka versi dunia. Aku lebih memilih langsung berlalu kekamar, mengabaikan tatapan penuh binar Ira, sapaan Om Mada dan teguran mama. Tak tahukah mereka aku muak sekedar melihat mereka?
Setelah berganti pakaian aku berniat menyelesaikan lukisanku, memberi sentuhan akhir pada kanvasnya. Menyempurnakan karyaku. Lukisan itu akan diikutkan sekolahku dalam The 7th International Fine Art and Painting Festival di Paris dua minggu lagi. Namun betapa terkejutnya aku, saat melihat kanvas yang kuletakkan disisi kamar berganti wajah menjadi abstrak dan penuh coretan warna kontras. Darahku seperti berlomba mengalir ke ubun-ubun, menghantarkan jutaan volt emosi yang tak mampu kubendung lagi. Ulah siapa lagi ini kalau bukan………………………………….
Aku meraihnya, membawanya menuju sang tersangka yang malah menabur tawa diruang tengah bersama antek-anteknya.
“AQUIRAAAAAAA!!!!!!! APA YANG KAMU LAKUKAN PADA LUKISANKU, HAH?????” teriaku marah sambil menunjukan benda di genggaman tanganku.
“APA-APAAN KAMU? Sudah aku bilang jangan masuk kamarku sembarangan! Sekarang kamu lancing coret-coret lukisanku? Kamu nggak tau ini lukisan penting?!?!?!” Ia mulai menangis, mama mendekatinya dan memeluknya. Lihat…….. bahkan, sudah berapa tahun berlalu kulalui tanpa pelukannya….. Kuat Iva kamu juga tak butuh pelukan wanita seperti itu, batinku menguatkan.
“Iva, adikmu kan nggak tahu, dia kan masih kecil”
“Terus saja mama membelanya! Mama nggak tahu kan lukisan ini akan ikut festival, aku bahkan sudah menyiapkannya sebulan, dan dalam sekali jentikan jari sudah dirusak oleh anak kesayangan mama? Oh…. Aku lupa, mama mana pernah tahu sesuatu tentang aku. Aku nggak pernah mama anggap ada kan?”
“Iva Mama nggak bermaksud seperti itu, Mama…..” Mama terlihat bingung
“Iva bukankah kamu pandai melukis, kamu hanya tinggal melukis lagi kan? Om yakin akan kemampuan kamu” Om Mada mulai angkat bicara.
Aku mendelik kearahnya, menatapnya menantang “Om nggak usah ikut campur! Om bukan bagian dari keluarga ini, Ini bukan urusan Om dan Om nggak punya HAK buat ngatur aku sedikitpun” Aku melihat sorot matanya terluka akan ucapanku, lalu apa peduliku? Siapa yang melukai siapa?
“Iva Jaga bicara kamu!!!” Mama menegurku
“Dari awal mama memang tak menganggapku, mama selalu mementingkan Ira. Semuanya Ira!! AKU JUGA ANAK MAMA!!”
Mataku terpejam. Selalu dan selalu saja terbersit pertanyaan itu. Kenapa harus aku? Kenapa bukan orang lain? Sudah habiskah masa bahagiaku? Tak tahukah Tuhan…………… aku disini sendiri, sebatang kara. Tiada tempat untukku bersandar, untukku menangis.
Aku lelah merasa lelah. Aku sudah cukup sakit untuk terus merasakan sakit. Aku ingin marah, tapi entah kepada siapa. Hanya menyalahkan Tuhan dan memusuhi keadaan yang kulakukan.
Mama melepaskan pelukan Ira diperutnya yang kini berlari kearah Eyang Uti “Iva….. maafkan mama membentakmu sayang. Tapi mama hanya tidak suka cara kamu dalam menyelesaikan masalah, kamu marah-marah dengan adikmu. Mama ingin kamu bersikap dewasa sayang, mama----“ cukup sudah! Ucapannya yang lagi lagi membela Ira bak bensin yang disiram pada amarahku.
“CUKUP MA! Belum puas mama membela dia? Sekarang mama menyalahkanku? Besok apalagi?!?! Membunuhku pake tangan mama sendiri? Aku jadi seperti ini karena siapa? Karena mama!! Mama tidak sadar?!?!”
“Mama minta maaf sayang jika mama salah, sebersitpun tak pernah terfikir oleh mama untuk membedakanmu dengan Ira…..” Mama mulai berlinang air mata. Baru kali ini aku menyuarakan suara lara ku, setelah sekian lama hanya diam dan meratapi takdir ini.
Aku menggeleng “Mama mengatakan tidak, tapi sikap mama bilang IYA! Mama pikir selama ini Iva bisa menerima semua ini Ma? Dipisahkan dari Papa….” Aku melihat tangis mama semakin tersedu saat aku mengungkit masalah beberapa tahun yang lalu “Perceraian mama dan papa, dan yang paling melukai Iva adalah mengetahui alasan Mama dan papa cerai adalah Om Mada! Mama menghianati keluarga kita, kepercayaan dan kasih sayang Iva juga Papa buat mama! Mama menghianati semuanya. Mama meninggalkan Papa hanya demi laki-laki perusak rumah tangga orang seperti dia” Mama terlihat kaget akan ucapanku.
“IVA!! Kamu nggak tahu apa-apa!!”
Aku tak percaya. Mama menamparku. Selama hidupku, baru sekali aku merasaknnya, dan itu berasal dari telapak tangan ibuku sendiri. Orang yang melahirkanku. Dibawah kakinya surgaku beranaung. Demi perasaan lelaki itu ia manamparku? Mengorbankan perasaan anaknya sendiri? Rasa panas itu menjalar dikulit pipi kiriku. Air mataku dengan bodohnya malah mengalir deras. Kalaupun sakit tamparan ini hilang, aku yakin sakit dihatiku malah semakin parah dan melebar.
Aku menatapnya. Tatapanku tak terbaca. Terluka, kecewa, marah, sakit hati semuanya bercampur menjadi satu.
Mama terlihat merasa bersalah, ia ikut menangis, tangannya ingin meraihku tapi aku menepisnya.
Aku tersenyum remeh, lalu perlahan rahangku mengeras “Apa yang nggak aku tahu, Ma? Aku nggak bodoh ma! Bahkan aku tahu kalau IRA adalah anak haram mama dan Om Mada kan?! Tak Pantas ia menyandang nama Aquira Al Jazeera!!” Mata mama membulat.
Itulah mengapa aku begitu membenci mereka. Aku benci mereka yang tak membaca sakit hatiku, terlukanya perasaanku. Belum mengering luka yang mereka torehkan, sudah menganga kembali dengan selalu hadirnya Om Mada ditengah kami.
“Kak Iva…………..” Lirih Ira yang menatapku berlinang air mata.
Aku berlari keluar rumah. Aku sudah tak sanggup berada ditengah lingkar nestapa ini. Aku berlari tanpa tujuan. Berlari dari semua beban yang membelengguku. Tak peduli jika harus tinggal di kolong jembatan, rasanya itu lebih baik jika harus berada ditengah keluarga tanpa kehangatan.
“KAK IVA AWASSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSS!!” Aku mendengar teriakan dan setelahnya badanku terlempar ke trotoar. Sebuah truck berhenti dengan rem berdecit. aku tak apa-apa, kuhela nafas lega namun, darah itu……….. Aku tercekat melihat Ira tergolek tak berdaya di pinggir trotoar dengan bersimbah darah. Untuk pertama kalinya, aku menangisinya.
“Ira…. Ira bangun… Ira!! Ira jangan bercanda!! Ira bangun!!”
***
Keadaan Ira masih kritis pasca operasi. Dokter bilang, setelah ia sadar kakinya tidak boleh digerakan terlebih dahulu, ia mengalami patah tulang kanannya. Aku seperti tertampar mendengarnya. Ia kehilangan kemampuan kaki kanannya selama beberapa bulan, bagaimana ia bisa menari? Aku tahu ia begitu suka menari.
Aku menangis. Selama ini aku telah begitu jahat padanya. Pada satu-satunya adikku yang begitu memujaku. Ira memang berbeda denganku, Aku dianugrahi kecerdasan namun ia biasa-biasa saja. Aku dianugrahi banyak bakat namun ia tidak, menaripun ia hanya karena terpengaruh ajakan temannya. Itulah mengapa dulu aku yakin ia bukan anak kandung Papa, mengingat papa adalah salah satu Insinyur yang bekerja di perusahaan pertambangan swasta asing dengan otak jeniusnya. Ia sangat kagum dan bangga padaku, namun tidak sebaliknya denganku. Setiap hari ia selalu mencari perhatian padaku, entah meminta tolong mengajarinya belajar, menemaninya tidur saat mama bekerja diluar kota dan hal-hal kecil lainnya yang akan selalu kutolak sebelum ia selesai berucap.
Kini ia terbaring tak berdaya, bahkan ia masih belum sadar, bagaimanamungkin anak sekecil itu menahan sakit seperti ini? Dan ini semua karenaku. Kakak yang tak pernah menganggapnya sebagai adik.
Bukan. Bukan aku berubah karna ia telah menolongku. Tapi semua karena ucapan penuh derai tangis mama yang telah menyadarkanku. Ucapan mama yang semakin membuat rasa bersalahku menggunung.
“Ira bukan anak haram Mama dan Om Mada” Ucap Mama memecah keheningan saat kami menunggu operasi Ira dilorong sepi rumah sakit ini. Aku menatapnya dengan kening berkerut.
“Papa mulai berubah. Mungkin tidak padamu. Tapi pada mama, Mungkin kamu memang harus tahu…....” mama menghela nafas, aku menatapnya bingung “Sebelum kita berpisah, papa selalu pulang malam dan membawa perempuan kerumah didepan mama. Tentu kamu sudah tidur. Ia membawa perempuannya kekamar tamu dan bangun dipagi hari seperti tidak terjadi apa-apa. Saat kamu telah berangkat sekolah, perempuan itu baru akan pergi. Bahkan pernah ia tak pulang selama berhari-hari tanpa kabar” Mama beruarai air mata mengatakannya. Sedangkan aku, menangis menunduk dalam diam. Orang yang aku percaya dan cintai lebih dari segalanya ternyata yang ada dibalik semua derita ini.
“Itu berlangsung hampir sebulan lebih. Dan saat itu Om Mada sedang mengunjungi keluarga kita. Ia tahu kelakuan papa kamu, ia yang selalu menguatkan Mama saat Mama sudah butuh sandaran dan ingin mengakhiri. Tapi Mama tak kuat Iva, seberapa besarpun cinta mama pada papa, mama tetap terluka. Dan terjadilah pertengkaran hebat itu, saat akhirnya Mama membawamu pergi bersama Om Mada. Mama tahu kamu sangat mencintai Papa, mungkin lebih dari kamu mencintai mama…. Tapi membayangkanmu dirawat wanita yang merebut Papa membuat Mama yang akan meninggalkanmu berfikir dua kali. Mungkin papa memang akan menyayangimu seperti dulu, Tapi apakah berlaku hal yang sama pada wanita itu? ” Mama diam sejenak, aku menatapnya penuh tangis.
“Karena terlalu memikirkan nasib keluarga kita membuat mama tidak memperhatikan kesehatan, membuat mama tak menyadari juga bahwa Mama telah hamil dua bulan. Mama bahagia ditengah kesedihan Mama. Mama mencoba bangkit dan memulai semua dari awal, bersama kamu dan bayi yang ada dikandungan Mama. Akhirnya mama memutuskan untuk kembali ke Jakarta.” Aku tercekat. Semua kebencian yang telah mengakar bertahun-tahun itu kesalahan. Orang yang kubenci tak layak kubenci. Semua pikiranku salah…….
“Kamu tahu kita pergi tanpa membawa apapun, Mama berjuang bekerja demi kamu dan Ira. Om Mada berusaha membantu karena ia dulu juga pernah dibantu Papamu sebelum ia seperti sekarang. Tapi mama menolak, Mama ingin lepas dari bayang-bayang Papamu, walau Mama masih mencintainya…….. Sulit dipercaya, bahwa mama….. hati ini masih miliknya setelah ia menghancurkannya” Mama terisak. Suaranya pilu. Aku tak mampu berkata, suaraku tercekat ditenggorokan.
“Melihat Ira. Seperti copycat dari Papa. Matanya yang berwarna hitam gelap, rambutnya yang berwarna coklat dan hidung mancung khas Arabnya. Mama seperti melihat Papamu…..”
Aku tak sanggup melihat Mama seperti ini. Aku memeluknya erat. “Maafkan Iva Mama. Maafkan Iva. Iva salah, Iva durhaka sama Mama. Iva bukan anak yang baik untuk mama. Iva kakak yang jahat untuk Ira. Maafkan Iva Ma….” Aku terduduk dilantai meyesali kekeliruanku. Waktu yang terbuang bersama mereka yang begitu menyayangiku namun kusia-siakan.
Mama merengkuhku. Beralaskan lantai rumah sakit, kami menangis dengan luka masing-masing.
***
Aku masuk kamar rawat Ira bersama Arkan. Mama sudah mengenalnya semenjak ia pertama mengantarku pulang. Disana juga ada Om Mada. Ah…. Aku belum minta maaf padanya mengenai kasarnya ucapan-ucapanku.
Aku melihat mama mencoba menyembunikan tangisnya, kondisi Ira memang belum menunjukan perkembangan. Aku bersimpuh didepan mama, menghapus tangisnya “Mama harus beritahu Papa, Mama tega Ira tumbuh tanpa sosok Ayah. Seenggaknya biarkan Papa tahu Ma…..”
Mama menggeleng, “Papa sudah bahagia dengan hidupnya sayang. Papa sudah tak membutuhkan kita…”
“Tapi kita butuh Papa ma…. Iva mencoba memaafkan Papa yang ternyata berhianat karena Iva sayang Papa. Tapi tidak pernah menghubungi kita lagi? Papa keterlaluan!”
Mama semakin menangis. Kini semua diam.
“Apa yang kamu lihat dulu bukan yang sebenarnya terjadi Nisa” Om Mada memecah keheningan. Semua sorot mata bertanya mengarah kepadanya.
“Arsyad tidak pernah menghianati kalian. Semua perselingkuhan itu hanya sandiwara. Wanita itu adalah Salma, sahabat kami” tutup Om Mada
“Apa maksud kamu Mada?”
“Arsyad mengidap kanker darah. Karena ia terikat kontrak ia tidak bisa keluar dari perusahaan. Saat itu perusahaan sedang goyah, ada penggelapan uang. Perusahaan tahu penyakit Aryad . Dan oknum tersebut mengkambinghitamkan Arsyad. Jika Arsyad meninggal kasus ini akan ditutup, mungkin itu pikiran mereka. Semua bukti disulap dengan apik hingga balik menyerangnya. Seluruh kekayaan kalian di Papua disita. Saat itu Arsyad berfikir telah kehilangan semuanya. Ia tahu umurnya tak akan lama. Dan mencuatlah ide gila itu dari otaknya. Aku dan Salma mati-matian menenantangnya. Namun ia bersikukuh.”
“Ia tak ingin kau menangisi kepergiannya dan berkubang dengan kesedihan. Ditambah semua asset kalian yang disita. Ia lebih memilih kau meninggalkannya walaupun dengan risiko hanya benci yang akan kau inget tentangnya”
Anak sungai dipipi mama semakin deras. Apalagi ini Tuhan? Mengapa semua ini belum berhenti? Mengapa bertubi-tubi? Aku terduduk dilantai. Arkan memelukku yang menangis.
“Arsyad meninggal satu bulan kemudian. Kondisinya semakin kritis dan memburuk. Tepat seminggu sebelum ia memohon untuk bertemu terakhir kali dengan kalian”
Aku membatu. Membayangkan Papa sendiri melawan penyakitnya tanpa aku dan Mama. Terbayang saat aku terakhir kali menatap paras Arabnya. Wajahnya saat itu memang terlihat sedikit pucat. Badannya lebih kurus dan kurang terawaat. Ya Tuhan……. Mengapa tidak engkau berikan saja hidup yang lurus tanpa kelokan pada hamba?
“papa…..” lirihku
“ Arsyad dimakamkan di Jakarta. Sesuai permintaanya. Ia ingin dekat dengan kalian”
***
Sepulang dari pemakaman umum, aku dan Mama kembali kerumah sakit. Mama terlihat lebih pendiam. Ia duduk mengahap jendela. Ia terlihat ingin mengatakan sesuatu, namun urung dikatakannya.
“Iva kamu bukan anak kandung Mama dan papa….” Aku terdiam, kenapa mataku tak jauh dari tangis?
“Jangan potong penjelasan mama…. Mama akan ceritakan semuanya” aku mngangguk pasrah. Tak mau lagi lari dari masalah dan membuat kesimpulan bodoh yang akan melukai banyak orang.
“Setelah menikah tiga tahun Mama dan papa belum dikaruniai anak, Kita telah mencoba berbagai cara bahkan bayi tabung, namun gagal. Hingga akhirnya sahabat mama melahirkan anak keduanya, mereka bersedia jika Mama dan papa mengadopsinya. Papa sangat senang karena mendapat anak perempuan yang begitu diinginkannya. Dan orang tua kandung kamu adalah Om Mada dan istinya, Iva”
Begitu banyak misteri dan kenyataan yang tersembunyi. Bahkan aku tak pernah menyangka hidupku akan serumit ini. “Ia yang memberimu nama Ivory, walau dibelakang namamu tidak menyandang nama keluarganya”
Jadi aku adalah anak dari Om Mada? Laki-laki yang dulu kuhujat, tak kuperlakukan dengan baik. Kenapa aku selalu membuat dosa?
Aku berlari. Mama memanggilku Tapi tak kuhiraukan….
***
Aku terdiam di tempat favoritku, taman sekolah. Kali ini kanvas dan pensil kunomorduakan. Tersedot kedimensi lain, melamunkan betapa terjalnya jalanku dulu.
“Seseorang mengatakan padaku bahwa hidup adalah tentang warna” Suara ini. Arkan.
Aku memandangnya dan tersenyum, menyandarkan kepalaku dipundaknya. Mataku menerawang “Gelap dan terang menyimpan kisah masing-masing. Ada hitam nan kelam, ungu sang tenang, hijau si teduh, merah yang membara ataukah sebersih putih. Jika kisah kita sama bukankah tak akan muncul gradasi atau pelangi? Jadi, apapun warna kanvasmu, yakinlah semua warna indah dengan caranya”
“Dan, apakah disebut hidup, jika tak ada terang, hanya gelap, seperti parade hitam?”
Ia mengangkat alis, “Parade hitam?”
“Semua hitam dalam hidup, masalah datang bertubi-tubi. Berbondong-bondong bak parade”
“Percayalah, semua tak sehitam kelihatannya. Tak seberat yang terfikirkan. Tuhan tidak akan membuat umatnya hanya akan mersakan hitam”
“Ck…. Kita seperti penyair!” Ia tergelak. “Aku hanya sedang menghibur gadis berkulit putih gading yang sedang gundah gulana”
Aku terkekeh “Jadi, siapakah seseorang itu? Hidup adalah tentang warna, bagus juga” aku tersenyum simpul
“Ayah, ia percaya. Setiap warna memancarkan aura dan cerita tersendiri. Warna-warna dinding dirumah pun mempunyai filosofi katanya. Huh…. Ribet sekali” Aku tertawa mendengarnya
“Hey kau tertawa!! Aku sedang sebal!! Bahkan ia hanya menuruni bakat menggambarnya padamu. Pelit sekali!!”ia berdecak.
“Ayah lebih sayang padaku” Aku tertawa dan kulihat ia semakin kesal “Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing kak. Everyone is special in their own way” Aku tersenyum, dan ia mengacak rambutku.
“Sudah mulai sore, ayo pulang”
Ya… semua indah pada waktunya. Tak ada luka tanpa penawar. Tak ada air mata tanpa tawa setelahnya. Saat itu memang aku pergi, tapi aku pergi untuk menjelaskan keadaan. Aku ke rumah Om Mada, tiba-tiba memeluknya yang menatapku penuh Tanya, dan keluarlah kata itu.
“Ayah…..” kurasakan tubuhnya kaku
“Maafkan aku Ayah….. Iva….” Aku menangis tak mampu melanjutkan perkataanku
Ia membalik badanku, “Ssssstt….. No problem, Cause I love you just like an ivory. As pure as white. As strong as a tusk.”
Kurasakan rengkuhan tangan lain, aku mendongak dan melihat sosok wanita yang kuyakini Ibuku. Dan….. Arkan? Dia tersenyum sambil menaikturunkan alisnya.
Aku telah melewati gradasi hidupku. Dari gelap yang penuh relikui hingga menerang sedikit demi sedikit menuju pencerahan. Semua cobaan yang dihadapkan menemui ujung dan hikmahnya. Kini aku berujung pada terang yang berarti kebahagian.
-The End-
;;
Subscribe to:
Postingan (Atom)