Selasa, 11 Maret 2014
Kutunggu Senyum Manis Ibuku
Hari ini aku berangkat ke sekolah dengan senyum yang tak henti –
hentinya tersungging di sudut bibirku. Kutapaki langkah langkahku dengan
berjalan menuju sekolah. Tak terasa aku telah melihat gedung megah
sekolahku itu.
Setelah sampai dikelas, ternyata
berbarengan dengan bel berbunyi. Aku segera mempersiapkan pelajaran
pertama hari ini, Bahasa Indonesia. Hari ini adalah pengumuman siapa
yang akan mewakili sekolah untuk Olimpiade Sains Nasional minggu depan.
Aku senang setiap kali diadakan seleksi lomba, karena aku sangat suka
untuk menguji kemampuanku. Perasaan senang yang kurasakan ini sepertinya
sangat aneh. Rasanya ada yang mengganjal di hatiku, entah apa itu. Aku
tak bisa mendefinisikannya dengan pasti. Aku bingung akan semua ini.
Walau dalam hatiku aku merasakan kebahagian, namun aku juga tak bisa
berbohong jika aku juga merasa khawatir. Sebenarnya apa yang aku
khawatirkan ??? Tidak terpilih untuk mewakili sekolah pada Olimpiade itu
? Rasanya tak mungkin aku merasa khawatir karena itu, aku sudah sering
gagal dalam seleksi lomba disekolah, jadi aku sudah tawakal dengan
hasilnya nanti. Aku dirundung kebingungan, aku hanya bisa melamunkan hal
itu.
Pelajaran yang kulalui hari ini beralngsung
seperti biasa. Kegiatan belajar mengajar di kelasku 8F berjalan lancar.
Sampai akhirnya Bu Winda datang kekelasku, beliau adalah salah satu
panitia seleksi.
“Selamat pagi anak – anak ! disini
ibu akan mengumumkan hasil seleksi siapa yang akan mewakili sekolah kita
pada Olimpiade Sains Nasional minggu depan” kata – kata Bu Winda tadi
membuat lamunanku buyar seketika. Ada sedikit harapan yang terbersit di
hatiku. Aku mencoba untuk tenang sampai Bu Winda kembali melanjutkan
kalimatnya.
Bu Winda mulai membacakan siapa saja yang
akan mewakili sekolahku untuk Olimpiade itu masing – masing di mata
pelajaran yang berbeda. Tapi aku tak mendengar nama ku disebut. Gundah
dan Galau, entah perasaanku saat ini serasa gado-gado.
Harapan itu sirna untukku, mungkin aku akan gagal lagi untuk bisa
mengharumkan almamater sekolahku, membawa nama baik SMP Negeri 2
Wonogiri. Sebenarnya aku sangat ingin membuat ayah dan ibuku bangga
denganku, aku ingin Ibu tersenyum puas dengan keberhasilanku. Berkali
kali mencoba akan aku lakukan asal itu terjadi, tapi apa daya jika
takdir berhendak lain. Vanesa Putri, temanku yang tentunya pandai,
mengikuti seleksi di bidang Fisika juga. Aku hanya bisa pasrah saat ini.
Mungkin apa yang menjadi hasil seleksi kali ini adalah yang terbaik
untuk semuanya. Gagal berkali- kali bukanlah sebuah aib yang harus
membuatku merasa malu. Justru kegagalan adalah keberhasilan yang datang
tertunda, dan aku harus bersabar untuk menantinya. Aku percaya semua
akan indah pada waktunya. Buah yang kutanam pasti tidak selalu berbuah
pahit, ada saat tersendiri rasa manis itu datang. Aku tak boleh jengah
untuk menanti dan berusaha.
“Untuk mapel Fisika
sedikit terjadi keanehan disini” terang Bu Winda kalimatnya terputus
karena terdengar suara ketukan pintu, sedetik kemudian aku melihat sosok
Bu Yanti, wali kelasku. Beliau memasuki kelasku, nampaknya raut
wajahnya sedikit muram. Bu Yanti membisikan sesuatu kepada Bu Winda, hal
itu membuat kami sebagai murid penasaran. Terlihat dari guratan wajah
Bu Yanti yang sedikit tegang dan aneh, mungkin ada kabar buruk yang
musti kami terima. Menit selanjutnya, Bu Yanti angkat bicara.
“Safa, ibumu memintamu untuk pulang lebih awal. Penyakit ayahmu kambuh,
ayahmu sudah dibawa ke Rumah Sakit.” Kata Bu Yanti
Aku seperti mendengar petir di telingaku ketika Bu Yanti mengatakan hal
itu…… Jantungku berdegup cepat, seakan darahku berlomba-lomba menuju
jantung. Air mataku tumpah seketika. Hatiku sangat perih, aku takut
terjadi sesuatu pada ayahku. Aku segera berpamitan pada Bu Yanti dan Bu
Winda untuk pergi ke Rumah Sakit.
Kini di benakku
hanya ada ayah, ayah dan ayah, hanya ayah. Tak terbersit sedikitpun
akankah aku lolos seleksi Fisika atau tidak, sekarang itu tidaklah
penting. Ayah adalah orang yang paling mendukungku dalam sekolah. Lain
dengan Ibu, beliau tidak pernah mau tahu tentang sekolahku, beliau
seperti acuh padaku, padahal aku sangat menyanyanginya. Hanya ayah yang
mampu mengerti aku, kini Ayah sedang melawan penyakitnya yang sudah dua
tahun menggerogoti kesehatannya. Keluargaku bisa apa ? biaya rumah sakit
sangat mahal, sedangkan perekonomian keluargaku hanya pas-pasan. Aku
tidak bisa berhenti meneteskan peluh air mataku.
Aku
berlari menuju tempat ayah dirawat, Ibu dan Adit adikku sudah ada
disana. Sama sepertiku, mereka juga tak bisa menahan tangis. Ayah
terlihat sangat menderita, untuk bicara saja terdengar sangat berat. Oh
tuhan apa yang bisa aku lakukan ?? jangan ambil ayahku Tuhan. Aku sangat
menyayanginya. Beliau pelita keluargaku, jangan biarkan hidup keluarga
kami gelap Ya Tuhan. Safa Mohon Tuhan…………………….
“Bu……”lirih Ayah, Ibu dengan tangis yang kian mengisak mendengarkan
perkataan Ayah.”Jaga Safa dan Adit… sekolahkanlah mereka sampai sarjana
kelak, jangan biarkan mereka putus sekolah. Bantulah mereka meraih
cita-citanya..” Ibu hanya mengangguk dengan tangisnya
“Ayah” lirihku…..hatiku serasa ditusuk seribu pedang mendengar perkataan
ayah itu. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi nanti tanpa
ayah. Semua ini begitu sulit untukku tafsirkan.
“Safa
…Adit… jaga Ibumu baik-baik. Bahagiakanlah Ibumu walau tanpa Ayah.
Jangan menjadi anak nakal, sekolah dengan benar, buatlah Ibumu bangga.
Ayah sayang kalian.”pesan Ayah, Ayah terlihat tersenyum. Namun sungguh
tidak seperti yang kuharapkan. Hal yang sangat kutakutkan terjadi. Tuhan
telah mengambil nyawa Ayah. Tuhan telah menjemput ayah…Ayah telah
terbaring damai di alamnya sendiri, di surga. Walau ayah dan kami
berpisah, namun Ayah tetap dihati kami. Kami juga sayang Ayah.
Setelah meninggalnya Ayah. Aku tidak masuk sekolah beberapa hari. Tapi
aku tak pernah sedikitpun lupa untuk membuka sikecil yang kaya imlu,
buku. Dimanapun aku selalu mempelajarinya, saat membantu Ibu, ataupun
membersihkan rumah, dimana aku berpijak disitulah buku bersamaku.
Satu alasan yang membuatku tidak bersekolah untuk beberapa hari ini.
Mungkin tidak hanya untuk hari ini, tapi untuk selamanya, walau itu
melanggar pesan ayah, tapi aku tak mau menyusahkan Ibu. Malam itu, dua
hari setelah ayahku meninggal dunia, aku mendengar Ibu sedang berbicara
dengan Bibi Ayu. Ibu bercerita dengan terisak- isak pada Bibi bahwa Ibu
tidak mempunyai uang untuk menyekolahkanku dan Adit lagi. Akhir-ahkir
ini warung Ibu sedang sepi sekali. Hutang ibu dimana-mana, untuk makan
saja kami sangat pasa-pasan, apalagi untuk membayar sekolahku ? aku tak
mau menjadi anak yang acuh pada penderitaan keluargaku. Memang aku
sangat ingin sekolah, tapi jikalau itu memberatkan keluargaku, aku akan
memendamnya.
Aku tak ingin menambah beban ibuku. Aku
rela tidak sekolah, asal Adit tetap sekolah. Aku akan membantu Ibu untuk
menyekolahkan Adit, mungkin aku bisa bekerja paruh waktu. Adit masih
terlalu kecil untuk putus sekolah, aku bisa belajar di rumah saja dengan
buku yang seadanya.
Hari ini sudah hari keempat aku
tidak masuk sekolah. Aku tidak memkirkan lagi apakah aku lolos seleksi
Olimpiade itu, jangankan memikirkan hal itu, memikirkan sekolah saja aku
tak berani. Aku tak mau rasa untuk sekolahku semakin besar, hingga aku
mengalahkan rasa prihatinku. Pukul setengah tujuh aku berangkat dari
rumah, tentunya aku berseragam dan berpemitan pada Ibu kalau hendak
sekolah. Padahal sudah empat hari ini aku membolos sekolah dan bekerja
sebagai tukang cucui piring di warung makan yang memang sangat ramai di
dekat sekolahku. Aku tidak memberitahukan hal ini pada Ibu, tentunya
jika aku memberitahukannya pada Ibu, pasti Ibu akan memarahiku dan
melarang apa yang kulakukan ini. Aku ingin membantu beban Ibu, walau
hanya sedikit yang bisa kulakukan.
Selesai bekerja,
aku selalu berkunjung ke rumah Shilla. Dia adalah sahabatku. Dan aku
pergi ke rumahnya untuk meminjam buku catatannya agar tidak tertinggal
pelajaran. Tentunya, buku itu aku kembalikan esok saat aku meminjam buku
Shilla kembali. Walau tidak bersekolah, aku tetap ingin belajar.
Belajar bukan hanya untuk seseorang yang bersekolah, belajar bebas di
lakukan oleh siapapun. Shilla dengan senang hati meminjamkan bukunya
padaku, walau kadang aku tidak enak hati dengannya.
Shilla sudah menungguku di teras rumahnya, dia tersenyum saat melihat kedatanganku.
“Safa……!!” teriaknya saat melihatku, aku hanya tersenyum simpul
padanya. “Ini buku catatanku. Hari ini cuma mencatat matematika dan
Biologi. Tenang aja Fa, nggak usah sungkan, aku tadi udah mempelajarinya
kok sebelum kamu datang!!” kata Shilla
“makasih ya Shill……… kamu udah baik banget sama aku. Aku nggak tau harus berterimakasih dengan apa ”kataku
“Kamu cukup jadi sahabatku aja udah cukup kok Fa. Oh iya Fa………… kenapa
kamu belakangan ini nggak masuk ??? aku lupa, aku dapet pesan dari Nesa
kalo dia menunggu banget kedatangan kamu !” Tanya Shilla. Saat mendengar
Nesa mencariku, aku heran. Untuk apa Nesa mencariku ?? jarang sekali
Aku mengernyitkan dahi. Nampaknya Shilla sudah bisa menafsirkan
ekspresiku. “Astaga, maaf ya Fa, aku lupa memberitahukan hal penting ini
padamu. Kalo yang lolos seleksi Olimpiade Fisika di sekolah kita tuh
Nesa………………”kata Shilla, hal itu sudah aku duga. Siapa sih yang bisa
ngalahin Nesa ? Nggak ada !
“ya jelaslah Shill…… aku
kan juga nggak mungkin bisa lolos seleksi. Waktu kelas Tujuh aja aku
gagal kan ???” tanggapku
“Safa Safa………hahahaaa…… Kamu
tuh terlalu merendah Fa. Kamu terlalu meremehkan kemampuan kamu. Aku kan
belum selesai bicara. Yang lolos seleksi tuh Nesa sama kamu. Nilai
kalian sama kok. Makanya Nesa pengen banget kamu masuk, soalnya mau
diadain seleksi lagi antara kalian.”jelas shilla
Jujur
aku keget saat mendengar aku juga lolos seleksi itu. Tak bisa
kupungkiri aku merasa senang, ini adalah kali pertama aku lolos seleksi.
Tapi aku juga nggak bisa merasa senang sepenuhnya di kondisiku yang
seperti ini. Aku sudah bertekad untuk tidak melanjutkan sekolah lagi,
aku sudah berniat untuk membantu Ibu mencari uang saja.
“ Sayangnya aku nggak bisa Shill………… aku sudah memutuskan untuk tidak
sekolah lagi” lirihku, aku menahan tangis saat mengatalkn hal itu. Harus
ku akui apa yang ku katakan itu sangat bertolak belakang dengan hatiku.
sungguh aku ingin sekolah dan mengikuti seleksi dengan Nesa itu.
“ hah ?? berhenti sekolah Fa ?? kenapa ???” kaget Shilla, nampaknya ia
melihatku menitihkan air mata. “Ayolah Fa, ceritalah kepadaku. Apa kau
tak menganggapku sahabat lagi ???”
Sebenarnya aku malu
untuk menceritakan hal ini pada Shilla. Karena pasti ia ingin sekali
untuk membantuku. Aku sudah terlalu sering merepotkannya. Tapi, aku juga
tak kuat jika harus memendam ini semua sendiri. Aku ingin
mengungkapkannya, aku ingin berbagi pada seseorang, walau bukan berbagi
kebahagiaan. Akhirnya aku menceritakan akar masalahku hingga aku
memutuskan untuk tidak bersekolah pada Shilla. Dan benar yang kuduga, ia
berniat untuk membayari sekolahku. Tentu saja aku menolaknya, aku tidak
mau bergantung pada Shilla.
“Fa……… aku mengerti
masalah kamu. Tapi, ibumu kan juga nggak akan mengijinkanmu melakukan
ini. Ini bukan jalan terbaik Fa, masih ada cara lain kan. Tetaplah
sekolah, kalahkan Nesa dalam seleksi itu dan raihlah medali Olimpiade
itu. Aku yakin, sekolah pasti akan memberimu beasiswa. Aku yakin kamu
bisa Fa. Opimis dong Fa!”
“Tapi olimpiade tinggal tiga
hari lagi.” Jelasku, aku melihat ekspresi kekecewaan di raut wajah
Nesa. Sebelum ia angkat bicara, aku segera memotongnya “Lagipula, pasti
sekolah juga akan memilih Nesa untuk mewakili sekolah kita. Aku kan juga
sering membolos akhir- akhir ini.”
“Kamu salah Fa !
kamu tau, Nesa bukan orang seperti itu. Nesa bukan tipe orang yang mau
menang tanpa saingan Fa. Bagi Nesa, perlombaan sebenarnya adalah dimana
kita berusaha sekuat-kuatnya, menang atau kalah itu urusan belakang Fa.
Aku mau kamu dan Nesa bener-bener berusaha untuk memperebutkan siapa
yang akan maju Olimpiade itu Fa. Aku mohon Fa !!”
“Tapi apa sekolah mau menolerirku Shill ??”
“Tentu Fa !!................ Nampaknya Nesa sudah bicara dengan Bu
Winda, besok akan diadakan seleksi antara kamu dan Nesa. Aku harap kamu
datang. Aku dan Nesa akan sangat menunggumu Fa.”
Hari
sudah mulai sore, aku juga berniat untuk pulang.”aku akan memikirkannya
dulu Shill. Aku permisi dulu ya. Terimakasih sebelumnya !” pamitku
***
Malam ini aku dan Adit belajar bersama di ruang tamu. Kami hanya
menggunakan lilin untuk menemani kami di gelapnya malam ini. Listrik
rumah kami dipadamkan karena kami telah menunggak pembayaran selama dua
bulan.Walau di kondisi apapun, aku dan Adit tak pernah lupa untuk
belajar. Ayah pernah menasihati kami tentang hal itu.
Aku dan dan Adit belajar sangat tekun. Aku sangat menyukai Fisika,
bagiku Fisika adalah ilmu nyata yang bisa diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Dunia Fisika sangat luas, dan aku tertarik untuk
menyelaminya walau aku mungkin hanya bisa belajar dengan buku - buku
seadanya. Aku dapat menjelaskan apa yang terjadi disekitarku dengan
hukum – hukum Fisika, aku bisa mengetahui cara bekerja suatu alat karena
Fisika. Aku sangat menyukai seluk beluk Fisika, sangat suka.
Konsentrasiku terbagi saat mendengar suara isakan tangis, aku mencari
sumber suara itu. Ternyata, Ibu sedang menangis tersedu-sedu di balik
pintu. Aku menghampiri Ibu. Saat melihat air mata bening itu telah
menganak sungai di pipi Ibu, aku juga tak bisa menahan tangisku, batinku
sangat perih.
“Ibu menangis ?? mengapa Bu ??”
tanyaku. Dengan lembut Ibu membelai rambutku, hal yang jarang kurasakan.
Selama ini Ibu tak pernah memperhatikanku sama sekali. Hatiku sangat
hangat ketika telapak tangan Ibu menyentuh helaian rambutku. Rasanya
hati Ibu yang dulu sedingin es kepadaku kini perlahan- lahan mulai
mencair.
“Mengapa kamu tidak sekolah Safa ?? bukankah
ini sudah hari keempat kamu tidak masuk sekolah ??” Kata Ibu. Kalimat
Ibu tadi semakin membuat air mataku membanjir. Bagaimana Ibu mengetahui
hal ini ???
“Safa sudah nggak mau sekolah Bu… safa mau
membantu Ibu mencari uang, safa nggak papa nggak sekolah, asal Adit
bisa sekolah Bu !!” kalimatku itu mungkin membuat hati Ibu semakin
perih, tangisnya kian menjadi.
“ Safa ingat pesan
ayahmu… kamu harus menamatkan sekolahmu. Kamu harus menggapai
cita-citamu Safa. Dengan keadaan apapun, Ibu akan tetap menyekolahkanmu
dan Adit. Ibu akan bekerja sekuat-kuatnya asal kamu dan Adit tetap bisa
sekolah. Pendidikan itu sangat penting Safa. Pendidikanmu adalah tangga
yang kau buat untuk mencapai cita-citamu kelak. Jangan sampai putus di
tengah jalan nak……… Semua usahamu sebelumnya pasti akan sia-sia. Kita
hidup serba pas-pasan itu tak masalah, asalkan kau tak pernah putus
sekolah sayang.” Nasihat Ibu. Isak tangisku semkain deras saja. Baru
pertama kali aku mendengar Ibu berkomentar mengenai sekolahku.
“Tapi aku tak mau menyusahkan Ibu…………………”lirihku tertunduk
Ibu menggeleng dan menghapus peluh tangisku.” Tidak sayang…… kau tak
menyusahkan Ibu. Semua akan Ibu lakukan untukmu dan Adit, untuk sekolah
kalian.” Kata Ibu sambil mendekapku.” Besok masuklah ke sekolah, dan
kerjakan soal-soal seleksimu dengan hati-hati. Buatlah Ibu dan Adit
bangga, buatlah Ayah di Surga bangga.”Aku mendongak mengahadap Ibu. Jadi
Ibu sudah tau kalau aku lolos seleksi itu? Dari mana ??
“Ibu sudah mengetahui hal itu ??”
Ibu mengangguk “Iya sayang.. tadi temanmu datang kemari. Ia mencarimu.
Kalau tidak salah namanya Vanesa. Dia meminta Ibu untuk menyuruhmu masuk
sekolah besok, karena besok akan diadakn seleksi antara kalian.”
Nesa ??? dia kamri ??? bagaiman ia tahu rumahku ?? mengapa dia begitu
menginginkan kedatanganku ?? pertanyaan – pertanyaan itu terngiang di
kepalaku.
“Dia juga bilang sudah empat hari kau tidak
msauk sekolah. Kemana saja kamu nak ?? Jadi kamu membohongi Ibu selama
ini” tanya Ibu
“Safa…………………………embb……….Safa, Safa bekerja Bu !!” kataku sedikit takut
“Bekerja ?? tanya Ibu. Aku hanya tertunduk.
“Safa bekerja sebagai tukang cuci piring Bu.”
“Astaga Safa………………apa yang kamu lakukan nak ??? apa kamu pikir kamu
sudah kuat mencari uang ?? mencari uang itu tidak gampang nak !! Mulai
besok kamu harus sekolah kembali !!”
“Ta……tapi Bu…………”bantahku
“ Safa………… Ibu tahu kamu tidak bisa tinggal diam dengan kondisi
keluarga kita sekarang, Ibu tahu kamu ingin membantu Ibu. Tapi jangan
lupakan kewajiban kamu sebgai seorang murid sayang. Tak selayaknya kamu
meninggalakn sekolah untuk bekerja sayang. Sekarang kita hanya bertiga.
Ibu, kamu dan adit, sekarang kita tanpa Ayah Safa. Tapi ingatlah, Ayah
pasti sedih melihat kamu seperti ini. Ayah pasti marah dengan Ibu kalau
membiarkan kamu sperti ini. Mengertilah Safa !!”
“Aku janji Bu…………aku akan membuat Ibu, Ayah, dan Adit tersenyum untukku. Safa janji Bu…………”
***
Hari ini, aku kembali masuk kesekolah. Dengan harapan baru, aku kembali
menyusun tangga-tanggaku untuk meraih cita-citaku. Aku tetap akan
melanjutkan sekolahku, tapi aku juga akan membantu Ibu bekerja agar Ibu
tidak kerepotan membayar uang sekolahku dan Adit.
Ternyata Nesa sudah menungguku di depan kelas. Nesa kelihatan sangat
senang melihat kedatanganku. Dan kamipun segera pergi ke ruang guru
untuk melaksanakn tes itu.
Aku mengerjakan soal-soal
dengan konsentrasi yang tinggi, pikiranku hanya terfokus pada soal-soal
itu. Bagiku, lolos atau tidak itu tak penting. Yang terpenting adalah
aku sudah mengerjakan soal itu semaksimal mungkin. Jika memang dewi
fortuna berpihak padaku, pasti keberuntungan akan datang padaku. Aku tek
lupa berdoa pada tuhan agar diberi keterangan dalam tes ini.
Dua jam berkutat dengan soal-soal itu membauat energiku tersita. kata
Bu Winda, hasil tes ini akan langsung diumumkan setelah koreksi selesai.
Dan aku maupun Nesa hanya bisa menunggu pengumuman itu.
Satu menit, sepuluh menit, tiga puluh menit, koreksi belum kunjung
selesai. Aku terus menunggu dan menunggu. Walau dalam hati aku tidak
yakin bisa lolos tes ini, namun aku mencoba untuk optimis. Di dunia ini
tidak ada yang tak mungkin, Nothing is impossible. Hanya Tuhan yang tahu
apa yang akan terjadi nanti, esok dan selanjutnya. Kita sebagai
makluknya hanya bisa menjalaninya sebaik-baiknya.
Akirnya di menit ke empat puluh lima, Bu Winda menyuruh kami masuk ke
ruang tes. Jantungku berdegup cepat, rasanya kakiku melemas, nafasku
terngah – engah dan tubuhku panas dingin. Hasilnya akan ku dengar
sebentar lagi. Oh Tuhan kuatkan aku.
“ehembb……” Suara
batuk Bu winda mengangetkanku. “langsung saja, dari tes ini hasilnya
sudah diketahui….. dan yang akan mewakili sekolah kita dalam Olimpide
Sains itu adalah……………………………………………………………………………………………………kamu
Safa, Rasafa
Biankania. Selamat ya !” terang Bu Winda
Tubuhku seakan membeku di tempat ini. Apa yang aku dengar tadi benar ? apa ini bukanlah suatu mimpi atau ilusi ???
“Selamat ya Fa !! kamu memang layak mewakili sekolah kita !!” ucap Nesa
tersenyum padaku. Ia membangunkan lamunanku, aku hanya bisa tersenyum
masam seakan tak percaya. Jadi ini kebenaran ??? Tapi menagapa aku tidak
bisa mempercayai ini ?? sungguh mustahil bagiku.
“Safa……lakukan yang terbaik yang kamu bisa. Lakukanlah untuk semua Safa.
Keberhasilan datang dari usahamu sendiri.” Nasihat Bu Winda
***
Sebelum aku melaksanakn lomba itu, aku tak lepas dari buku Fisika.
Setiap ada waktu luang, aku selalu membukanya dan memperlajarinya. Ini
bukan suatu beban untukku, tapi suatu tanggung jawab yang dengan senang
hati ku laksanakan. Belajar tak membuatku lupa untuk membantu Ibuku, Ibu
sudah terlihat ikhlas dengan kepergian ayah, Ibu sudah tak terlihat
sangat sedih seperti dulu.
***
Hari yang kunanti tiba, aku dan teman-temanku sudah berada di Surakarta
untuk melaksanakn Olimpiade Sains Nasional itu. Aku di bidang fisika.
Mario Stevano atau Rio di mata pelajaran Matematika. Cristian Jonathan
atau yang akrab dipanggil Tian di mata pelajaran Bahasa Inggris dan
Angelina Paramitha di mata pelajaran Biologi. Kami siap untuk berjuang
menjadi yang terbaik antara siswa - siswi RSBI se Indonesia.
Dengan semangat yang menggebu-gebu aku siap untuk berperang melawan
soal-soal Fiska itu. Aku ingin dalam senyum Ibu tidak terlukiskan
kepedihan sama sekali, aku ingin Ibu tersenyum bangga padaku.
Dua jam aku menyelesaikan soal-soal olimpiade ini. Kini jantungku
seperti senam ketika hasil lomab sudah akan diumumkan. Di mata pelajaran
Bioloi dan Bahasa Inggris sekolahku hanya masuk 15 besar. Di mata
pelajaran Matematika, Rio berhasil meraih medali emas. Dan kini saat
pembacaan untuk mata pelajaran Fisika. Saat ini, rasanya lebih
menakutkan daripada menaiki roller coaster.
“Untuk
medali emas diraih oleh nomor peserta 6, Gabriel Stevent damanik dari
SMP 2 Semarang. Nomor peserta 19, Sivia Azizah dari SMP 1 Sukoharjo.
Nomor peserta 9, Cathrine Nova Inera dari SMP 1 Purworejo !!!” kata MC
Pupus sudah harapanku ketika aku tak mendengar namaku disebut. Kepingan
- kepingan harapanku dulu, kini benar- benar hancur. Mungkin memang
jalanku hanya sampai disini. Takdir yang telah tergores digaris hidupku
hanya menuntun langkahku sampai disini. Apa yang telah kulakukan dalam
tes ini sudah merupakan kemampuan maksimalku. Aku percaya dan sadar, di
dunia ini banyak seseorang yang lebih denganku. Dan itu terbukti disini.
Walau tak berhasil mengukir namaku di Piagam kejuaraan, tapi aku sudah
cukup senang dapat membawa nama sekolahku di Olimpiade ini.
“Oh………… maaf. Nampaknya terjadi kekeliruan disini. Sebelumnya kami
ucapkan beribu maaf kepada pihak SMPN 1 Purworejo, karena panitia salah
menulikan siapa yang meraih medali emas yang ketiga. Peraih medali emas
ketiga adalah nomor peserta 8, Rasafa Biankania dari SMPN 2 Wonogiri.
Rasafa Biankania ??? bukankah itu namaku ??? itu namaku !! jadi aku
berhasil meraih medali emas ??? terimaksih Tuhan !!!
Aku sangat senang ketika mendengar hal itu. Aku memeluk erat Angel.
Perasaanku saat ini tak bisa ku ungkapkan dengan kata-kata. Semua ini
terasa begitu indah. Medali itu untuk Ibu, kupersembahakan untuk Ibu !
***
Aku pulang dengan perasaan yang teramat bahagia. Aku pulang bukan
dengan tangan kosong. Aku pulang dengan do’a Ibu. Do’a Ibu yang selalu
mengiringi disetiap langkahku hingga aku berhasil meraih medali emas
itu.
“Assalamu’alaikum………Ibu, Adit…… Safa pulang !!!”
Aku segera lari dan mendekap Ibu saat kulihat Ibu muncul dari balik
pintu. Ibu mengelus pucuk kepalaku dan tersenyum.
“
Safa berhasdil Bu…….. Safa berhasil meraih medali emas Bu !! Safa
Behasil !! Semua ini berkat Ibu !” ungkapku,. Rasanya banayk hal yang
ingin kukataka, namun mulutku terasa berat.
“ Tidak
sayang, ini semua adalah hasil dari usaha kamu ! Ibu bangga sekali
padamu nak…… Ayah pasti tersenyum untukmu.” Kata Ibu, Ibu tak
henti-hentinya tersenyum. Bahkan ditengah tetesan air mata bahagianya,
Ibu masih tetap tersenyum. Sungguh senyum yang palin manis yang pernah
kulihat.
***
Sejak kemenangnku itu, sekolah
memberiku beasiswa. Hidupku kini terasa lengkap walau tanpa Ayah
disisiku. Aku bersekolah seperti murid – murid yang lain. Tapi aku juga
tetap membantu Ibu. Aku tak mau menjadi anak malas yang tinggal menunggu
orang tua memberi uang kepada kita. Aku mau bisa hidup mandiri. Kini,
tak ada lagi senyum kepedihan di wajah Ibu. Yang tersisa hanyalah senyum
manis. Walau di kondisi apapun keluargaku sekarang.
Selesai
Label: Cerpen
;;
Subscribe to:
Komentar (Atom)




