Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 11 Maret 2014


 Kutunggu Senyum Manis Ibuku


Hari ini aku berangkat ke sekolah dengan senyum yang tak henti – hentinya tersungging di sudut bibirku. Kutapaki langkah langkahku dengan berjalan menuju sekolah. Tak terasa aku telah melihat gedung megah sekolahku itu.

            Setelah sampai dikelas, ternyata berbarengan dengan bel berbunyi. Aku segera mempersiapkan pelajaran pertama hari ini, Bahasa Indonesia. Hari ini adalah pengumuman siapa yang akan mewakili sekolah untuk Olimpiade Sains Nasional minggu depan. Aku senang setiap kali diadakan seleksi lomba, karena aku sangat suka untuk menguji kemampuanku. Perasaan senang yang kurasakan ini sepertinya sangat aneh. Rasanya ada yang mengganjal di hatiku, entah apa itu. Aku tak bisa mendefinisikannya dengan pasti. Aku bingung akan semua ini. Walau dalam hatiku aku merasakan kebahagian, namun aku juga tak bisa berbohong jika aku juga merasa khawatir. Sebenarnya apa yang aku khawatirkan ??? Tidak terpilih untuk mewakili sekolah pada Olimpiade itu ? Rasanya tak mungkin aku merasa khawatir karena itu, aku sudah sering gagal dalam seleksi lomba disekolah, jadi aku sudah tawakal dengan hasilnya nanti. Aku dirundung kebingungan, aku hanya bisa melamunkan hal itu.

            Pelajaran yang kulalui hari ini beralngsung seperti biasa. Kegiatan belajar mengajar di kelasku 8F berjalan lancar. Sampai akhirnya Bu Winda datang kekelasku, beliau adalah salah satu panitia seleksi.

            “Selamat pagi anak – anak ! disini ibu akan mengumumkan hasil seleksi siapa yang akan mewakili sekolah kita pada Olimpiade Sains Nasional minggu depan” kata – kata Bu Winda tadi membuat lamunanku buyar seketika. Ada sedikit harapan yang terbersit di hatiku. Aku mencoba untuk tenang sampai Bu Winda kembali melanjutkan kalimatnya.

            Bu Winda mulai membacakan siapa saja yang akan mewakili sekolahku untuk Olimpiade itu masing – masing di mata pelajaran yang berbeda. Tapi aku tak mendengar nama ku disebut. Gundah dan Galau, entah perasaanku saat ini serasa gado-gado.

            Harapan itu sirna untukku, mungkin aku akan gagal lagi untuk bisa mengharumkan almamater sekolahku, membawa nama baik SMP Negeri 2 Wonogiri. Sebenarnya aku sangat ingin membuat ayah dan ibuku bangga denganku, aku ingin Ibu tersenyum puas dengan keberhasilanku. Berkali kali mencoba akan aku lakukan asal itu terjadi, tapi apa daya jika takdir berhendak lain. Vanesa Putri, temanku yang tentunya pandai, mengikuti seleksi di bidang Fisika juga. Aku hanya bisa pasrah saat ini. Mungkin apa yang menjadi hasil seleksi kali ini adalah yang terbaik untuk semuanya. Gagal berkali- kali bukanlah sebuah aib yang harus membuatku merasa malu. Justru kegagalan adalah keberhasilan yang datang tertunda, dan aku harus bersabar untuk menantinya. Aku percaya semua akan indah pada waktunya. Buah yang kutanam pasti tidak selalu berbuah pahit, ada saat tersendiri rasa manis itu datang. Aku tak boleh jengah untuk menanti dan berusaha.

            “Untuk mapel Fisika sedikit terjadi keanehan disini” terang Bu Winda kalimatnya terputus karena terdengar suara ketukan pintu, sedetik kemudian aku melihat sosok Bu Yanti, wali kelasku. Beliau memasuki kelasku, nampaknya raut wajahnya sedikit muram. Bu Yanti membisikan sesuatu kepada Bu Winda, hal itu membuat kami sebagai murid penasaran. Terlihat dari guratan wajah Bu Yanti yang sedikit tegang dan aneh, mungkin ada kabar buruk yang musti kami terima. Menit selanjutnya, Bu Yanti angkat bicara.

            “Safa, ibumu memintamu untuk pulang lebih awal. Penyakit ayahmu kambuh, ayahmu sudah dibawa ke Rumah Sakit.” Kata Bu Yanti

            Aku seperti mendengar petir di telingaku ketika Bu Yanti mengatakan hal itu…… Jantungku berdegup cepat, seakan darahku berlomba-lomba menuju jantung. Air mataku tumpah seketika. Hatiku sangat perih, aku takut terjadi sesuatu pada ayahku. Aku segera berpamitan pada Bu Yanti dan Bu Winda untuk pergi ke Rumah Sakit.

            Kini di benakku hanya ada ayah, ayah dan ayah, hanya ayah. Tak terbersit sedikitpun akankah aku lolos seleksi Fisika atau tidak, sekarang itu tidaklah penting. Ayah adalah orang yang paling mendukungku dalam sekolah. Lain dengan Ibu, beliau tidak pernah mau tahu tentang sekolahku, beliau seperti acuh padaku, padahal aku sangat menyanyanginya. Hanya ayah yang mampu mengerti aku, kini Ayah sedang melawan penyakitnya yang sudah dua tahun menggerogoti kesehatannya. Keluargaku bisa apa ? biaya rumah sakit sangat mahal, sedangkan perekonomian keluargaku hanya pas-pasan. Aku tidak bisa berhenti meneteskan peluh air mataku.

            Aku berlari menuju tempat ayah dirawat, Ibu dan Adit adikku sudah ada disana. Sama sepertiku, mereka juga tak bisa menahan tangis. Ayah terlihat sangat menderita, untuk bicara saja terdengar sangat berat. Oh tuhan apa yang bisa aku lakukan ?? jangan ambil ayahku Tuhan. Aku sangat menyayanginya. Beliau pelita keluargaku, jangan biarkan hidup keluarga kami gelap Ya Tuhan. Safa Mohon Tuhan…………………….

            “Bu……”lirih Ayah, Ibu dengan tangis yang kian mengisak mendengarkan perkataan Ayah.”Jaga Safa dan Adit… sekolahkanlah mereka sampai sarjana kelak, jangan biarkan mereka putus sekolah. Bantulah mereka meraih cita-citanya..” Ibu hanya mengangguk dengan tangisnya

            “Ayah” lirihku…..hatiku serasa ditusuk seribu pedang mendengar perkataan ayah itu. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi nanti tanpa ayah. Semua ini begitu sulit untukku tafsirkan.

            “Safa …Adit… jaga Ibumu baik-baik. Bahagiakanlah Ibumu walau tanpa Ayah. Jangan menjadi anak nakal, sekolah dengan benar, buatlah Ibumu bangga. Ayah sayang kalian.”pesan Ayah, Ayah terlihat tersenyum. Namun sungguh tidak seperti yang kuharapkan. Hal yang sangat kutakutkan terjadi. Tuhan telah mengambil nyawa Ayah. Tuhan telah menjemput ayah…Ayah telah terbaring damai di alamnya sendiri, di surga. Walau ayah dan kami berpisah, namun Ayah tetap dihati kami. Kami juga sayang Ayah.

            Setelah meninggalnya Ayah. Aku tidak masuk sekolah beberapa hari. Tapi aku tak pernah sedikitpun lupa untuk membuka sikecil yang kaya imlu, buku. Dimanapun aku selalu mempelajarinya, saat membantu Ibu, ataupun membersihkan rumah, dimana aku berpijak disitulah buku bersamaku.

            Satu alasan yang membuatku tidak bersekolah untuk beberapa hari ini. Mungkin tidak hanya untuk hari ini, tapi untuk selamanya, walau itu melanggar pesan ayah, tapi aku tak mau menyusahkan Ibu. Malam itu, dua hari setelah ayahku meninggal dunia, aku mendengar Ibu sedang berbicara dengan Bibi Ayu. Ibu bercerita dengan terisak- isak pada Bibi bahwa Ibu tidak mempunyai uang untuk menyekolahkanku dan Adit lagi. Akhir-ahkir ini warung Ibu sedang sepi sekali. Hutang ibu dimana-mana, untuk makan saja kami sangat pasa-pasan, apalagi untuk membayar sekolahku ? aku tak mau menjadi anak yang acuh pada penderitaan keluargaku. Memang aku sangat ingin sekolah, tapi jikalau itu memberatkan keluargaku, aku akan memendamnya.

            Aku tak ingin menambah beban ibuku. Aku rela tidak sekolah, asal Adit tetap sekolah. Aku akan membantu Ibu untuk menyekolahkan Adit, mungkin aku bisa bekerja paruh waktu. Adit masih terlalu kecil untuk putus sekolah, aku bisa belajar di rumah saja dengan buku yang seadanya.

            Hari ini sudah hari keempat aku tidak masuk sekolah. Aku tidak memkirkan lagi apakah aku lolos seleksi Olimpiade itu, jangankan memikirkan hal itu, memikirkan sekolah saja aku tak berani. Aku tak mau rasa untuk sekolahku semakin besar, hingga aku mengalahkan rasa prihatinku. Pukul setengah tujuh aku berangkat dari rumah, tentunya aku berseragam dan berpemitan pada Ibu kalau hendak sekolah. Padahal sudah empat hari ini aku membolos sekolah dan bekerja sebagai tukang cucui piring di warung makan yang memang sangat ramai di dekat sekolahku. Aku tidak memberitahukan hal ini pada Ibu, tentunya jika aku memberitahukannya pada Ibu, pasti Ibu akan memarahiku dan melarang apa yang kulakukan ini. Aku ingin membantu beban Ibu, walau hanya sedikit yang bisa kulakukan.

            Selesai bekerja, aku selalu berkunjung ke rumah Shilla. Dia adalah sahabatku. Dan aku pergi ke rumahnya untuk meminjam buku catatannya agar tidak tertinggal pelajaran. Tentunya, buku itu aku kembalikan esok saat aku meminjam buku Shilla kembali. Walau tidak bersekolah, aku tetap ingin belajar. Belajar bukan hanya untuk seseorang yang bersekolah, belajar bebas di lakukan oleh siapapun. Shilla dengan senang hati meminjamkan bukunya padaku, walau kadang aku tidak enak hati dengannya.

            Shilla sudah menungguku di teras rumahnya, dia tersenyum saat melihat kedatanganku.

            “Safa……!!” teriaknya saat melihatku, aku hanya tersenyum simpul padanya. “Ini buku catatanku. Hari ini cuma mencatat matematika dan Biologi. Tenang aja Fa, nggak usah sungkan, aku tadi udah mempelajarinya kok sebelum kamu datang!!” kata Shilla

            “makasih ya Shill……… kamu udah baik banget sama aku. Aku nggak tau harus berterimakasih dengan apa ”kataku

            “Kamu cukup jadi sahabatku aja udah cukup kok Fa. Oh iya Fa………… kenapa kamu belakangan ini nggak masuk ??? aku lupa, aku dapet pesan dari Nesa kalo dia menunggu banget kedatangan kamu !” Tanya Shilla. Saat mendengar Nesa mencariku, aku heran. Untuk apa Nesa mencariku ?? jarang sekali

            Aku mengernyitkan dahi. Nampaknya Shilla sudah bisa menafsirkan ekspresiku. “Astaga, maaf ya Fa, aku lupa memberitahukan hal penting ini padamu. Kalo yang lolos seleksi Olimpiade Fisika di sekolah kita tuh Nesa………………”kata Shilla, hal itu sudah aku duga. Siapa sih yang bisa ngalahin Nesa ? Nggak ada !

            “ya jelaslah Shill…… aku kan juga nggak mungkin bisa lolos seleksi. Waktu kelas Tujuh aja aku gagal kan ???” tanggapku

            “Safa Safa………hahahaaa…… Kamu tuh terlalu merendah Fa. Kamu terlalu meremehkan kemampuan kamu. Aku kan belum selesai bicara. Yang lolos seleksi tuh Nesa sama kamu. Nilai kalian sama kok. Makanya Nesa pengen banget kamu masuk, soalnya mau diadain seleksi lagi antara kalian.”jelas shilla

            Jujur aku keget saat mendengar aku juga lolos seleksi itu. Tak bisa kupungkiri aku merasa senang, ini adalah kali pertama aku lolos seleksi. Tapi aku juga nggak bisa merasa senang sepenuhnya di kondisiku yang seperti ini. Aku sudah bertekad untuk tidak melanjutkan sekolah lagi, aku sudah berniat untuk membantu Ibu mencari uang saja.

            “ Sayangnya aku nggak bisa Shill………… aku sudah memutuskan untuk tidak sekolah lagi” lirihku, aku menahan tangis saat mengatalkn hal itu. Harus ku akui apa yang ku katakan itu sangat bertolak belakang dengan hatiku. sungguh aku ingin sekolah dan mengikuti seleksi dengan Nesa itu.

            “ hah ?? berhenti sekolah Fa ?? kenapa ???” kaget Shilla, nampaknya ia melihatku menitihkan air mata. “Ayolah Fa, ceritalah kepadaku. Apa kau tak menganggapku sahabat lagi ???”

            Sebenarnya aku malu untuk menceritakan hal ini pada Shilla. Karena pasti ia ingin sekali untuk membantuku. Aku sudah terlalu sering merepotkannya. Tapi, aku juga tak kuat jika harus memendam ini semua sendiri. Aku ingin mengungkapkannya, aku ingin berbagi pada seseorang, walau bukan berbagi kebahagiaan. Akhirnya aku menceritakan akar masalahku hingga aku memutuskan untuk tidak bersekolah pada Shilla. Dan benar yang kuduga, ia berniat untuk membayari sekolahku. Tentu saja aku menolaknya, aku tidak mau bergantung pada Shilla.

            “Fa……… aku mengerti masalah kamu. Tapi, ibumu kan juga nggak akan mengijinkanmu melakukan ini. Ini bukan jalan terbaik Fa, masih ada cara lain kan. Tetaplah sekolah, kalahkan Nesa dalam seleksi itu dan raihlah medali Olimpiade itu. Aku yakin, sekolah pasti akan memberimu beasiswa. Aku yakin kamu bisa Fa. Opimis dong Fa!”

            “Tapi olimpiade tinggal tiga hari lagi.” Jelasku, aku melihat ekspresi  kekecewaan di raut wajah Nesa. Sebelum ia angkat bicara, aku segera memotongnya “Lagipula, pasti sekolah juga akan memilih Nesa untuk mewakili sekolah kita. Aku kan juga sering membolos akhir- akhir ini.”

            “Kamu salah Fa ! kamu tau, Nesa bukan orang seperti itu. Nesa bukan tipe orang yang mau menang tanpa saingan Fa. Bagi Nesa, perlombaan sebenarnya adalah dimana kita berusaha sekuat-kuatnya, menang atau kalah itu urusan belakang Fa. Aku mau kamu dan Nesa bener-bener berusaha untuk memperebutkan siapa yang akan maju Olimpiade itu Fa. Aku mohon Fa !!”

            “Tapi apa sekolah mau menolerirku Shill ??”

            “Tentu Fa !!................ Nampaknya Nesa sudah bicara dengan Bu Winda, besok akan diadakan seleksi antara kamu dan Nesa. Aku harap kamu datang. Aku dan Nesa  akan sangat menunggumu Fa.”

            Hari sudah mulai sore, aku juga berniat untuk pulang.”aku akan memikirkannya dulu Shill. Aku permisi dulu ya. Terimakasih sebelumnya !” pamitku


***


            Malam ini aku dan Adit belajar bersama di ruang tamu. Kami hanya menggunakan lilin untuk menemani kami di gelapnya malam ini. Listrik rumah kami dipadamkan karena kami telah menunggak pembayaran selama dua bulan.Walau di kondisi apapun, aku dan Adit tak pernah lupa untuk belajar. Ayah pernah menasihati kami tentang hal itu.

            Aku dan dan Adit belajar sangat tekun. Aku sangat menyukai Fisika, bagiku Fisika adalah ilmu nyata yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dunia Fisika sangat luas, dan aku tertarik untuk menyelaminya walau aku mungkin hanya bisa belajar dengan buku - buku seadanya. Aku dapat menjelaskan apa yang terjadi disekitarku dengan hukum – hukum Fisika, aku bisa mengetahui cara bekerja suatu alat karena Fisika. Aku sangat menyukai seluk beluk Fisika, sangat suka.

            Konsentrasiku terbagi saat mendengar suara isakan tangis, aku mencari sumber suara itu. Ternyata, Ibu sedang menangis tersedu-sedu di balik pintu. Aku menghampiri Ibu. Saat melihat air mata bening itu telah menganak sungai di pipi Ibu, aku juga tak bisa menahan tangisku, batinku sangat perih.

            “Ibu menangis ?? mengapa Bu ??” tanyaku. Dengan lembut Ibu membelai rambutku, hal yang jarang kurasakan. Selama ini Ibu tak pernah memperhatikanku sama sekali. Hatiku sangat hangat ketika telapak tangan Ibu menyentuh helaian rambutku. Rasanya hati Ibu yang dulu sedingin es kepadaku kini perlahan- lahan mulai mencair.

            “Mengapa kamu tidak sekolah Safa ?? bukankah ini sudah hari keempat kamu tidak masuk sekolah ??” Kata Ibu. Kalimat Ibu tadi semakin membuat air mataku membanjir. Bagaimana Ibu mengetahui hal ini ???

            “Safa sudah nggak mau sekolah Bu… safa mau membantu Ibu mencari uang, safa nggak papa nggak sekolah, asal Adit bisa sekolah Bu !!”  kalimatku itu mungkin membuat hati Ibu semakin perih, tangisnya kian menjadi.

            “ Safa ingat pesan ayahmu… kamu harus menamatkan sekolahmu. Kamu harus menggapai cita-citamu Safa. Dengan keadaan apapun, Ibu akan tetap menyekolahkanmu dan Adit. Ibu akan bekerja sekuat-kuatnya asal kamu dan Adit tetap bisa sekolah. Pendidikan itu sangat penting Safa. Pendidikanmu adalah tangga yang kau buat untuk mencapai cita-citamu kelak. Jangan sampai putus di tengah jalan nak……… Semua usahamu sebelumnya pasti akan sia-sia. Kita hidup serba pas-pasan itu tak masalah, asalkan kau tak pernah putus sekolah sayang.” Nasihat Ibu. Isak tangisku semkain deras saja. Baru pertama kali aku mendengar Ibu berkomentar mengenai sekolahku.


            “Tapi aku tak mau menyusahkan Ibu…………………”lirihku tertunduk

            Ibu menggeleng dan menghapus peluh tangisku.” Tidak sayang…… kau tak menyusahkan Ibu. Semua akan Ibu lakukan untukmu dan Adit, untuk sekolah kalian.” Kata Ibu sambil mendekapku.” Besok masuklah ke sekolah, dan kerjakan soal-soal seleksimu dengan hati-hati. Buatlah Ibu dan Adit bangga, buatlah Ayah di Surga bangga.”Aku mendongak mengahadap Ibu. Jadi Ibu sudah tau kalau aku lolos seleksi itu? Dari mana ??

            “Ibu sudah mengetahui hal itu ??”

            Ibu mengangguk “Iya sayang.. tadi temanmu datang kemari. Ia mencarimu. Kalau tidak salah namanya Vanesa. Dia meminta Ibu untuk menyuruhmu masuk sekolah besok, karena besok akan diadakn seleksi antara kalian.”

            Nesa ??? dia kamri ??? bagaiman ia tahu rumahku ?? mengapa dia begitu menginginkan kedatanganku ?? pertanyaan – pertanyaan itu terngiang di kepalaku.

            “Dia juga bilang sudah empat hari kau tidak msauk sekolah. Kemana saja kamu nak ?? Jadi kamu membohongi Ibu selama ini” tanya Ibu

            “Safa…………………………embb……….Safa, Safa bekerja Bu !!” kataku sedikit takut

            “Bekerja ?? tanya Ibu. Aku hanya tertunduk.

            “Safa bekerja sebagai tukang cuci piring Bu.”

            “Astaga Safa………………apa yang kamu lakukan nak ??? apa kamu pikir kamu sudah kuat mencari uang ?? mencari uang itu tidak gampang nak !! Mulai besok kamu harus sekolah kembali !!”

            “Ta……tapi Bu…………”bantahku

            “ Safa………… Ibu tahu kamu tidak bisa tinggal diam dengan kondisi keluarga kita sekarang, Ibu tahu kamu ingin membantu Ibu. Tapi jangan lupakan kewajiban kamu sebgai seorang murid sayang. Tak selayaknya kamu meninggalakn sekolah untuk bekerja sayang. Sekarang kita hanya bertiga. Ibu, kamu dan adit, sekarang kita tanpa Ayah Safa. Tapi ingatlah, Ayah pasti sedih melihat kamu seperti ini. Ayah pasti marah dengan Ibu kalau membiarkan kamu sperti ini. Mengertilah Safa !!”

            “Aku janji Bu…………aku akan membuat Ibu, Ayah, dan Adit tersenyum untukku. Safa janji Bu…………”

***


            Hari ini, aku kembali masuk kesekolah. Dengan harapan baru, aku kembali menyusun tangga-tanggaku untuk meraih cita-citaku. Aku tetap akan melanjutkan sekolahku, tapi aku juga akan membantu Ibu bekerja agar Ibu tidak kerepotan membayar uang sekolahku dan Adit.

            Ternyata Nesa sudah menungguku di depan kelas. Nesa kelihatan sangat senang melihat kedatanganku. Dan kamipun segera pergi ke ruang guru untuk melaksanakn tes itu.

            Aku mengerjakan soal-soal dengan konsentrasi yang tinggi, pikiranku hanya terfokus pada soal-soal itu. Bagiku, lolos atau tidak itu tak penting. Yang terpenting adalah aku sudah mengerjakan soal itu semaksimal mungkin. Jika memang dewi fortuna berpihak padaku, pasti keberuntungan akan datang padaku. Aku tek lupa berdoa pada tuhan agar diberi keterangan dalam tes ini.

            Dua jam berkutat dengan soal-soal itu membauat energiku tersita. kata Bu Winda, hasil tes ini akan langsung diumumkan setelah koreksi selesai. Dan aku maupun Nesa hanya bisa menunggu pengumuman itu.

            Satu menit, sepuluh menit, tiga puluh menit, koreksi belum kunjung selesai. Aku terus menunggu dan menunggu. Walau dalam hati aku tidak yakin bisa lolos tes ini, namun aku mencoba untuk optimis. Di dunia ini tidak ada yang tak mungkin, Nothing is impossible. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi nanti, esok dan selanjutnya. Kita sebagai makluknya hanya bisa menjalaninya sebaik-baiknya.

            Akirnya di menit ke empat puluh lima, Bu Winda menyuruh kami masuk ke ruang tes. Jantungku berdegup cepat, rasanya kakiku melemas, nafasku terngah – engah dan tubuhku panas dingin. Hasilnya akan ku dengar sebentar lagi. Oh Tuhan kuatkan aku.

            “ehembb……” Suara batuk Bu winda mengangetkanku. “langsung saja, dari tes ini hasilnya sudah diketahui….. dan yang akan mewakili sekolah kita dalam Olimpide Sains itu adalah……………………………………………………………………………………………………kamu 
Safa, Rasafa Biankania. Selamat ya !” terang Bu Winda

            Tubuhku seakan membeku di tempat ini. Apa yang aku dengar tadi benar ? apa ini bukanlah suatu mimpi atau ilusi ???

            “Selamat ya Fa !! kamu memang layak mewakili sekolah kita !!” ucap Nesa tersenyum padaku. Ia membangunkan lamunanku, aku hanya bisa tersenyum masam seakan tak percaya. Jadi ini kebenaran ??? Tapi menagapa aku tidak bisa mempercayai ini ?? sungguh mustahil bagiku.

            “Safa……lakukan yang terbaik yang kamu bisa. Lakukanlah untuk semua Safa. Keberhasilan datang dari usahamu sendiri.” Nasihat Bu Winda

***


            Sebelum aku melaksanakn lomba itu, aku tak lepas dari buku Fisika. Setiap ada waktu luang, aku selalu membukanya dan memperlajarinya. Ini bukan suatu beban untukku, tapi suatu tanggung jawab yang dengan senang hati ku laksanakan. Belajar tak membuatku lupa untuk membantu Ibuku, Ibu sudah terlihat ikhlas dengan kepergian ayah, Ibu sudah tak terlihat sangat sedih seperti dulu.


***


            Hari yang kunanti tiba, aku dan teman-temanku sudah berada di Surakarta untuk melaksanakn Olimpiade Sains Nasional itu. Aku di bidang fisika. Mario Stevano atau Rio di mata pelajaran Matematika. Cristian Jonathan atau yang akrab dipanggil Tian di mata pelajaran Bahasa Inggris dan Angelina Paramitha di mata pelajaran Biologi. Kami siap untuk berjuang menjadi yang terbaik antara siswa - siswi RSBI se Indonesia.

            Dengan semangat yang menggebu-gebu aku siap untuk berperang melawan soal-soal Fiska itu. Aku ingin dalam senyum Ibu tidak terlukiskan kepedihan sama sekali, aku ingin Ibu tersenyum bangga padaku.

            Dua jam aku menyelesaikan soal-soal olimpiade ini. Kini jantungku seperti senam ketika hasil lomab sudah akan diumumkan. Di mata pelajaran Bioloi dan Bahasa Inggris sekolahku hanya masuk 15 besar. Di mata pelajaran Matematika, Rio berhasil meraih medali emas. Dan kini saat pembacaan untuk mata pelajaran Fisika. Saat ini, rasanya lebih menakutkan daripada menaiki roller coaster.

            “Untuk medali emas diraih oleh nomor peserta 6, Gabriel Stevent damanik dari SMP 2 Semarang. Nomor peserta 19, Sivia Azizah dari SMP 1 Sukoharjo. Nomor peserta 9, Cathrine Nova Inera dari SMP 1 Purworejo !!!” kata MC

            Pupus sudah harapanku ketika aku tak mendengar namaku disebut. Kepingan - kepingan harapanku dulu, kini benar- benar hancur. Mungkin memang jalanku hanya sampai disini. Takdir yang telah tergores digaris hidupku hanya menuntun langkahku sampai disini. Apa yang telah kulakukan dalam tes ini sudah merupakan kemampuan maksimalku. Aku percaya dan sadar, di dunia ini banyak seseorang yang lebih denganku. Dan itu terbukti disini. Walau tak berhasil mengukir namaku di Piagam kejuaraan, tapi aku sudah cukup senang dapat membawa nama sekolahku di Olimpiade ini.

            “Oh………… maaf. Nampaknya terjadi kekeliruan disini. Sebelumnya kami ucapkan beribu maaf kepada pihak SMPN 1 Purworejo, karena panitia salah menulikan siapa yang meraih medali emas yang ketiga. Peraih medali emas ketiga adalah nomor peserta 8, Rasafa Biankania dari SMPN 2 Wonogiri.

            Rasafa Biankania ??? bukankah itu namaku ??? itu namaku !! jadi aku berhasil meraih medali emas ??? terimaksih Tuhan !!!

            Aku sangat senang ketika mendengar hal itu. Aku memeluk erat Angel. Perasaanku saat ini tak bisa ku ungkapkan dengan kata-kata. Semua ini terasa begitu indah. Medali itu untuk Ibu, kupersembahakan untuk Ibu !

***

            Aku pulang dengan perasaan yang teramat bahagia. Aku pulang bukan dengan tangan kosong. Aku pulang dengan do’a Ibu. Do’a Ibu yang selalu mengiringi disetiap langkahku hingga aku berhasil meraih medali emas itu.

            “Assalamu’alaikum………Ibu, Adit…… Safa pulang !!!”

            Aku segera lari dan mendekap Ibu saat kulihat Ibu muncul dari balik pintu. Ibu mengelus pucuk kepalaku dan tersenyum.

            “ Safa berhasdil Bu…….. Safa berhasil meraih medali emas Bu !! Safa Behasil !! Semua ini berkat Ibu !” ungkapku,. Rasanya banayk hal yang ingin kukataka, namun mulutku terasa berat.

            “ Tidak sayang, ini semua adalah hasil dari usaha kamu ! Ibu bangga sekali padamu nak…… Ayah pasti tersenyum untukmu.” Kata Ibu, Ibu tak henti-hentinya tersenyum. Bahkan ditengah tetesan air mata bahagianya, Ibu masih tetap tersenyum. Sungguh senyum yang palin manis yang pernah kulihat.


***


            Sejak kemenangnku itu, sekolah memberiku beasiswa. Hidupku kini terasa lengkap walau tanpa Ayah disisiku. Aku bersekolah seperti murid – murid yang lain. Tapi aku juga tetap membantu Ibu. Aku tak mau menjadi anak malas yang tinggal menunggu orang tua memberi uang kepada kita. Aku mau bisa hidup mandiri. Kini, tak ada lagi senyum kepedihan di wajah Ibu. Yang tersisa hanyalah senyum manis. Walau di kondisi apapun keluargaku sekarang.


Selesai

Minggu, 02 Februari 2014

Ini cerpen kakak gue pas jaman alay SMA :D bukan ding, ini tugas Bahas Indonesia sih sebenernya. Tadi iseng aja buka file jadul kakak gue, eh nemu jejak cerpen, gue buka dah tu..... eh malah random sendiri gue nya :3 Yaudah gue repost aja biar yang random nggak cuma gue sendiri :p hahahaa



Love in Memories
By Annalisa martina w



Cakrawala mengembangkan senyumnya, menyongsong langkahku menyelami masa indah remajaku, masa- masa sekolah yang penuh dengan kenangan. Dihadapanku menjulang gedung jingga nan elok, pintu gerbangnya terbuka seolah menyambut kedatanganku. Kulangkahkan kakiku, masuk menapaki setiap keping kisah remajaku. Kutatap gedung megah berlantai empat dihadapanku, gedung yang semakin kokoh berdiri ditengah hiruk pikuk. Sekolah yang tetap menjaga kualitasnya sampai saat ini, sekolah yang tetap menjadi favorit dan kebanggaan masyarakat.
Sekelebat memory itu menghampiriku, kenangan itu tersaji dihadapanku seperti sebuah drama. Seorang gadis berlari menuju gerbang yang akan ditutup, selangkah saja dia terlambat melangkah mungkin dia harus menunggu 1 jam pelajaran untuk dibukakan gerbang oleh satpam atau menerima konsekuensi  yang lain atas keterlambatannya itu. Gadis itu cepat menaiki anak tangga, ditengah langkahnya dia sempat menoleh ke arahku dan tersenyum, padaku? Entahlah.
Aku berjalan memasuki lorong yang mengantarkanku menuju tempat yang tak kuduga, aku berdiri tepat di tengah halaman gedung ini. Tempat yang dulu kukenali sebagai aula dan ruang musik kini telah rata dengan tanah berganti dengan halaman luas yang dikelilingi gedung berlantai empat. Dari sini dapat kubayangkan, betapa lelahnya siswa- siswi yang harus pindah dari kelas Matematika yang berada di pojok bawah menuju kelas Bahasa Indonesia di lantai empat, pasti moving class system ini sangat merepotkan.
Kulangkahkan kakiku menapaki setiap anak tangga didepanku, langkah ini terhenti saat kulihat kelas Biologi. Dua tahun yang lalu kelas ini adalah kelasku, kelas yang penuh dengan canda tawa dan juga duka, kelas yang hampir tidak disukai semua guru pengajar karena ramainya, tetapi menjadi kelas yang selalu dikenang semua orang karena kekompakannnya. Dan inilah kelasku dulu, eleven science five, kelas yang menjadi saksi kisahku, cintaku, persahabatanku, dan menjadi kenanganku…
***
 “Ohaiyoo Gozaimasu…!” seru anak- anak setelah Mr.Oni memasuki kelas.
Mr.Oni merupakan guru bahasa Jepang yang juga merangkap tugas sebagai pengawas kedisiplinan. Orangnya tinggi kurus dan hidungnya lumayan mancung, kira- kira umurnya empat puluh tahunan. Satu hal yang paling ngeselin dari Mr.Oni, yaitu hobinya yang suka berburu pas istirahat, tau nggak yang diburu tu apaan? Yapp, bener banget, dia hobi banget berburu siswa- siswi yang melakukan pelanggaran, entah siswa yang lupa nggak pake dasi atau siswa yang rambutnya gondrong, pokoknya ada aja buruannya. Hal yang paling unik dari dia, keningnya tu lebar banget, ikan lohan aja kalah, ha…ha…ha… Saking luasnya, kalo kena sinar matahari mirip banget ama lampu merkuri, silau! ”I’m sorry Sir!
“Ya, nomer absen tujuh silahkan maju kedepan!” ucap Mr. Oni dengan aksen Jepangnya yang sangat khas. Semua murid menatapku, aneh, aku baru mengerti setelah Shana, teman sebangkuku memberi tau kalo aku harus kedepan.
***
“Rese banget sich emangnya nggak ada orang laen apa? gue lagi gue lagi, bosen gue disuruh maju mulu, lo juga Vie, bukannya ngebantuin gue eh malah ikutan ngerjain gue.”
“Ya maaf banget Al, sekali- kali nggak pa- pa donk, ya nggak Ag?”
Agni menggangguk setuju, ”Yap bener banget tu, boleh donk kita balik ngerjain lo, mumpung ada kesempatan, eh Al bayarin dulu ya, gue nggak bawa duit nich!”
“Sekalian donk!” Sivia ikut- ikutan.
“Kuya lo emang, ogah! Ngutang aja sana!” aku berjalan keluar kantin, mengacukan omelan- omelan mereka.
Oiya kita belum kenalan nich, namaku Alyssa Saufika Umari, umur mendekati 17taun, kebetulan aku anak science …eitss jangan salah, biarpun aku anak science tapi aku bukan tipe anak yang kutu buku. Aku melangkah masuk, menikmati keriuhan kelasku saat jam kosong seperti ini. Kamu liat segerombolan cewek yang ngumpul dipojokan itu? Mereka gank cewek yang lumayan popular disini, cantik, tajir, dan banyak cowok yang naksir, ehm satu nilai yang paling berharga yaitu kalau otak mereka dijual pasti harganya paling mahal, soalnya masih gresh jarang kepake, ngertikan maksudku? Terus yang didepan itu kumpulan penerus Eindstein, biarpun penampilan mereka nyentrik tapi otaknya full trick alias penuh dengan rumus- rumus yang tok cer. Nah yang lagi nongkrong di depan kelas itu kumpulan anak- anak yang paling gila, paling hobi bolos, biang keributan, dan biang keonaran. Yang lagi ngumpul dikananku ini kumpulan anak- anak netral, pinter?…enggak, bodoh?…juga enggak. Yang jelas anak- anak kelas ini paling asyik, paling bocor and paling rame kalo diajak gila- gilaan, missal nih ya…kelas science yang lain prosentase siswa bolosnya cuma 5% nah kelasku bisa sampe 50%, tapi biarpun kelas ini dicap sebagai kelas troublemacker tapi kelasku adalah kelas terbaik dengan nilai rata- rata tertinggi, hebatkan?
Dan kalau ditanya aku masuk dalam kelompok yang mana, jelas aku akan jawab kalo aku nggak masuk dalam kelompok manapun, aku dan kedua temenku yang super kemayu itu masuk dalam kelompok beauty, smart, and familiar. Narsis sech tapi ya emank gitu kenyataannya!
***
“Al, lo ikut rapat OSIS nggak?” aku mengerutkan kening, ”jadi lo belum denger? ntar balik sekolah ada rapat dadakan katanya sech mau ngebahas pensi.”
“Bukannya pensinya masih lama ya?”
Gabriel mengangkat bahu, ”Mana gue ngerti, harusnya lo yang lebih tau, emang cowok lo itu nggak cerita?”
“Idih amit- amit dech gue jadian ama dia, udah dech lo jangan ngaco… jauh- jauh dech dari gue ntar cewek lo cemburu tu!” aku melirik Pricilla yang berdiri di depan pintu.
“Ada juga gue yang ditempeleng Rio, cowok lo itukan super sensi.”
“Sialan lo!!”
Gabriel berjalan ke pintu sembari tertawa, tu cowok emank gila, ”Hay honey, mau ke kantin?” Pricilla menggangguk, “woi nyonya besar, gue ke kantin dulu ya, ntar kalo lo jadi ikut rapat kabarin gue, ok!” Belum sempat aku menjawab, cowok rese itu udah ngeloyor pergi.
Heran dech, seorang model terkenal kaya Pricilla bisa kepincut ama kadal burit kaya Gabriel, beruntung bangetkan tu cowok! Tapi emang dasar buaya tu orang, nggak puas sama apa yang udah dipunya. Udah dapet coklat kualitas super asal Swiss masih aja nyari coklat lain yang kualitasnya masih tanda tanya, huft…cape dech!
***
Aku melangkah ringan melalui koridor sekolah, pagi ini benar- benar menyenangkan, aku nggak perlu berebut kamar mandi ama adekku yang super tengil itu, terus tumben- tumbenan banget si abangku yang super usil mau nganterin aku ke sekolah. Nyenengin banget dech kalo setiap hari bisa kaya gini.
“Al…,”
Aku berhenti melangkah, huft kayanya kesenangan gue bakalan berakhir sampe sini dech, aku berbalik, menatapnya dan entah kenapa jantungku berdebar lebih cepat.
“Kemaren kenapa nggak ikut rapat?” tu kan gue dijutekin, Rio kurang kerjaan banget sech, pagi- pagi gini udah ngomel, benar- benar merusak suasana, “kamu udah taukan kalo kemaren tu ada rapat?”
“Gue tau, Gabriel yang bilang, kemaren gue ada acara. Emank cuma gue yang nggak ikut?”
“Iya!” aku menatapnya tak percaya, Rio tersenyum, manis banget, coba dia nggak masuk dalam daftar black list, pasti sekarang aku ama dia udah…aduh stop Alyssa! Jangan mikir yang aneh- aneh, inget apa yang udah dia lakuin ke lo Al, inget itu! Dia itu brengsek dan lo nggak boleh suka ama dia! ”Sebenernya ada beberapa yang nggak bisa ikut, tapi cuma kamu yang nggak izin,” lanjutnya.
Fiuh, aku meniup poni rambutku,”So?” cowok itu mengerutkan kening,”Kenapa ya kalo gue nggak ikut rapat lo kayanya ribut banget? Apa itu cuma perasaan gue aja? Ehm satu hal lagi, berhubung ini udah jam tujuh kurang lima dan gue belum ngerjain pr jadi kalo lo mau ngomong sesuatu yang nggak penting, ntar aja ya!” aku berbalik lalu meninggalkannya.
“Al…” heeeeh ni cowok brisik banget sech, aku kembali berbalik, awas aja kalo nanya yang nggak penting, gue timpuk pake sepatu! ”Pensi besok, kamu jadi wakape! So mau nggak mau kita harus kerjasama.”
“What????”
***
            Aku berlari cepat menuju gerbang, selangkah saja terlambat mungkin aku harus menunggu sejam buat dibukakan pintu.
“Sekali lagi dapet bonus lho Al…” ingat Mas Duta, satpam sekolahku.
Ya ampun, udah enam kali ini aku telat, kreditku tinggal satu donk, kalo sampe dapet amplop peringatan bisa diomelin Ayah nih!
            Aku menaiki anak tangga, cepat, pasti Mr. Dave sudah menantiku dengan beragam rumus matematikanya dikelas. Gawat kalo beliau lebih cepat dari aku, bisa- bisa aku nggak boleh ikut pelajaran, tu gurukan terkenal super killer. Ditengah langkahku, aku menagkap sebuah sosok, wanita itu menatapku dan aku tersenyum kepadanya. Rasanya dia sangat familiar bagiku, secara fisik dia mirip denganku, cuma dia sedikit lebih tinggi dan terlihat begitu dewasa. Wanita itu mengenakan pakaian yang serba putih dan nampaknya dia sedikit pucat.
***
Oh my god! Sivia Azizah harus berapa kali sech gue jelasin ke lo kalo gue ama Rio nggak pacaran, gue nggak suka sama dia! Dan kalopun akhir- akhir ini kita deket, itu cuma karena kita terlibat dalam program OSIS doank!” aku tak tau, tapi mungkin inilah kebiasaanku kalau mulai jengkel, aku memanggil seseorang dengan nama panjangnya.
“Harus berapa kali juga gue jelasin ke lo kalo lo nggak usah mangkir ama perasaan lo…bibir lo mungkin bilang nggak tapi hati lo? Al apa salahnya sich kalo lo akuin aja!”
“Ok, gue akuin kalo…gue benci banget sama dia,” aku menerawang ke langit- langit kelas, saat itu kembali terbayang, tawa mereka dulu seolah menggema kembali ditelingaku, sangat menyakitkan, ”gue benci dia… .”
“Kita percaya lo punya alesan kenapa lo bilang kaya gitu, tapi sebagai temen kita cuma mau ngingetin, lo masih punya kita, sahabat lo, dan kita selalu siap kapanpun lo mau cerita, kapanpun lo butuhin kita… .”
            Aku merengkuh mereka, ya… mereka memang sahabatku, aku udah pernah kehilangan seorang sahabat terbaikku dan aku tak mau itu terulang kembali. Segerombolan gadis melenggang tegap melalui kelasku, aku melihat Rara diantara mereka. Langkahnya pasti, dagunya terangkat, senyumnya tak lagi terkembang ringan seperti dulu, nampaknya Rara benar- benar berubah.
“Ya ampun Ashilla, lo nyium sesuatu nggak? Ada bau nggak enak nich!”
“Iya nih Shill, kaya ada bau busuk gitu? Bangkai kali ya!” Mereka melirikku.
Rara atau gadis yang lebih mereka kenal dengan nama Ashilla Zahrantiara itu, hanya tersenyum masam menatapku.
“Cabut yu girls, muak gue ngeliat penghianat kaya dia!” entah mengapa aku merasa ucapan Rara itu ditujukan untukku.
“Iya, cabut yu…gue mau muntah nich ngeliatnya, heran dech ko ada ya, ngaku temen tapi nusuk dari belakang!” Aku tak mengerti apa yang mereka maksud.
***
Hari ini benar- benar indah, walaupun langit terlihat redup tapi hatiku bercahaya, malah kurasa cahaya itu semakin bersinar seiring dengan berjalannya waktu. Hari ini usiaku tepat tujuh belas tahun, dan pesta kejutan dari Ayah ama Bunda tadi benar- benar menyenangkan walaupun ada seseorang yang kurang.
Pesta telur yang disiapkan teman- teman sekelasku juga tak kalah heboh, mereka bisa dibilang kejam malah. Awalnya mereka bawain aku tart dengan segala macem tulisan yang bagus banget tapi setelah tiup lilin, tartnya dibasuhin ke muka aku, dikira air kale? Belum habis deritaku, pas mata baru bisa melek, aku udah diguyur gitu aja pake adonan telur satu kilo yang sebagian udah busuk, dicampur ama tepung terigu, kopi, susu basi, dan air, kebayangkan baunya kaya apa! Berhubung aku nggak terima jadi ada adegan kejar- kejarannya, seru banget dech! Agni sampe muntah- muntah waktu aku peluk tadi, salah siapa larinya lambat banget. Gabriel juga ngumpat nggak jelas waktu aku balik ngeguyur dia pake ember bekas adonan yang kukasih air. Sangat mengasyikan dan takkan terlupakan selamanya.
Aku meraih bingkai kayu kecil disamping ranjangku, Rara, tahun lalu aku masih merayakan ulang tahun bersamanya tapi kini…. Dia sangat baik, dan kita telah bersahabat sejak kecil, jauh sebelum aku kenal Agni dan Sivia, hanya dia yang memanggilku dengan sebutan Ify, dan hanya aku juga yang memanggilnya Rara. Tapi kini aku merasa kalau dia menghindariku, kita memang tak sekelas tapi bukan itu masalahnya sampai dia menganggapku tak ada, bahkan ketika bertemu dia tak menyapaku, dia membenciku…aku tau itu. Biarpun seperti ini keadaannya, tapi bagiku dia adalah sahabatku dan akan seperti itu selamanya, meski kini dia berubah. Tak dapat kupungkiri, aku merindukannya, aku merindukan Rara yang dulu, aku merindukan ceritanya, celotehan lucunya, pipinya yang berubah merah kalo lagi malu dan keceriaannya.
***
“Rara lo kenapa sih, senyum- senyum nggak jelas gitu? Tunggu gue tebak, ehm.. lo habis ditembak cowok ya, ngaku dech!”
“Ifyapaan sich! Enggak ko” aku tertawa melihat pipinya yang memerah seperti kepiting rebus.
“Bo’ong! Ngaku, lo ditembak sapa?”
“Ify…” pipinya semakin memerah dan itu membuatnya terlihat semakin cantik, nggak heran kalau banyak pria yang menyukainya, bisa dibilang dialah sang primadona sekolah, bayangin…dalam seminggu ini udah ada sembilan cowok yang nembak dia dan kesembilan cowok itu ditolak mentah- mentah ama dia padahal mereka semua termasuk jajaran cowok dengan rating tertinggi se-SMA, gila nggak tu? ”Sebenernya aku lagi naksir seseorang…dia baik banget, dia juga cakep.”
“Wah gue jadi penasaran nich, tumben- tumbenan lo memuji ketampanan seorang pria, emang dia cakep banget ya? Sama Wu Zun cakep mana?”
“Beda tipis!”
Skak mat, Wu Zun tu actor idola kita berdua, menurut kita dia tu actor paling cakep se-Asia so kalo Kira bilang tu cowok cuma beda tipis ama dia berarti tu cowok emang bener- bener cakep.
“Siapa sich orangnya? Kitakan udah janji maen rahasia- rahasiaan.”
“Dia kakak kelas kita, pokoknya dia baik, pinter, cakep, ehm…inisialnya eM’Ha, tapi heran dech dia bawel banget kalo aku lagi nyeritain tentang kamu udah ah ntar aja aku cerita lagi kalau kita udah jadian…da Ify!!” Kira berlari kecil menuju kelasnya. Cowok yang dimaksud Rara tadi siapa ya? Inisialnya eM’Ha, ehm apa mungkin Marcell? Enggak ah, Rara kan udah nolak dia..ehm aku tau, jangan- jangan tu cowok Muhfid lagi? Nggak ada yang nyangkal kalo Muhfid tu cakep, dia emang nggak terlalu pinter, tapi dia baik ko’, yap kemungkinan besar tu cowok emang Muhfid (?).
***
            Itulah obrolan terakhir kita, karena setelah itu Rara menjauh dariku, tanpa alasan yang jelas. Walaupun dia mengacuhkanku, tapi bagiku dia tetaplah Rara sahabatku yang dulu dan akan tetap seperi itu selamanya. Aku beralih ke tumpukan kado yang berada dipojokan kamarku, ada sebuah bingkisan kecil yang sedari tadi mengelitik hatiku untuk membukanya. Sebuah bingkisan berbentuk hati berwarna merah jambu dengan sebuah pita merah melintang ditengahnya. Perlahan aku menganbilnya lalu membukannya, hatiku sedikit tergetar melihatnya, sebuah kalung nan cantik yang berliontinkan sebuah hati. Awalnya kupikir itu hadiah dari Bunda dan Ayah tapi setelah kubuka surat yang ada didalamnya aku sangat kaget.

Untuk Kasihku…
Hela nafasmu adalah darahku
Senyummu adalah hidupku
Karena dirimu candu bagiku
Kasih…
Meski jauhmu lukaiku
Meski diammu hancurkanku
Tapi ku kan berdiri kukuh
Menantimu kembali membawa jiwaku
A&M forever…

Air mataku mengalir pelan, aku sangat yakin kalau ini pemberiannya, Rio, orang yang sampai saat ini masih kucintai. Aku mungkin munafik karena tak pernah mengakui perasaanku ini didepannya, egoku rupanya terlalu besar untuk menerima cinta ini. Hatiku tergetar saat kuraba liontin itu, terpatri sebuah inisial A&M.
***
Semilir angin menerpa tubuhku, menyadarkanku dari lamunan panjangku. Kembali kumelangkah mengelilingi gedung ini, mengintip setiap ruang kelas dibalik deretan kaca yang memanjang. Aku berbalik dan melangkah menuju tangga, dari arah lawan, kulihat seorang gadis berjalan tergesa- gesa, sesekali dia melirik jam yang terpasang ditanggannya. Ketika berbelok kearah tangga, dari bawah, seorang pria berjalan tak kalah cepat, alhasil…
“Aduh!! Lo punya mata nggak sech?” gadis itu mengelus keningnya, ”Sakit tau!!”
Pria itu malah tersenyum, tanpa mengucapkan permintaan maaf, ”Mana yang sakit? Sini aku liat!”
Gadis itu mundur selangkah, ”Nggak ada liat- liatan! Najis tralala dech gue dipegang- pegang sama lo, udah sana minggir, gue buru- buru!” gadis itu berjalan cepat menuruni tangga.
“Aku mau ngomong sama kamu,” gadis itu terus berjalan, acuh, “aku udah nunggu kamu dari sepulang sekolah tadi,” pria itu berjalan mengikutinya.
Aku berjalan santai dibelakang mereka, baru kusadari kalau pria itu benar- benar sabar, jam pulang sekolah itu kira- kira jam dua dan sekarang udah jam lima, berarti dia nunggu gadis itu udah tiga jam. Waktu yang nggak sebentar buat nunggu seorang gadis menyelaesaikan tugas dan praktikumnya.
“Please dengerin dulu!” pria itu meraih tangan si gadis, membuat langkahnya terhenti.
Gadis itu menatapnya tajam kemudian mengibaskan tangannya, ”Apaan lagi sich? Nggak puas apa lo udah ngerecokin hidup gue, lo tu tolol apa bego sih? Gue nggak pernah nyuruh lo buat nungguin gue dan gue juga nggak ngerasa punya urusan sama lo,” gadis itu menghela napas, meniup poni rambutnya, ”kenapa lo nggak pernah ngerti kalo gue benci sama lo, asli gue benci banget sama lo!” gadis itu menatapnya tajam kemudian berbalik dan melangkah.
“Kenapa kamu benci sama aku?” langkah gadis itu spontan terhenti, ” kasih aku alasan biar aku ngerti, biar semuanya lebih jelas!” ungkap pria itu sembari mendekat.
“Selama ini aku selalu mencoba buat memahami kamu, dan rasanya dua tahun cukup untuk itu walaupun  setiap aku maju selangkah kamu mundur… nggak cuma selangkah tapi dua langkah, but it’s ok, aku terima itu, tapi sekarang kamu harus jelasin kenapa kamu selalu menghindar! Buat aku ngerti… ,” pria itu menatap si gadis dengan penuh kasih, tulus.
“Nggak ada yang perlu dijelasin… ,” ucap gadis itu lirih, suarannya tertahan, ”dari awal semuanya udah jelas jadi nggak perlu dijelasin lagi.”
Hening, pria itu mencoba menelaah apa yang baru saja didengarnya.
Gadis itu menatap tajam pria yang ada dihadapannya, ”Masih belum ngerti?” gadis itu tertawa hambar, ”lo emang bener- bener cowok brengsek ya, awalnya gue pikir lo beda ama temen lo yang buaya itu tapi ternyata lo sama aja ama mereka, asal lo tau, gue bukan barang yang bisa lo pake taroan, gue juga bukan piala yang bisa kalian gilir seenaknya, gue punya hati, gue punya perasaan, dan kalo lo nuntut kejelasan, kejelasan apa? Dari awal kita emang nggak punya hubungan apa- apa, lo cuma kakak kelas gue,” gadis itu menghela napas, menahan air matanya.
“Jujur, aku emang sempat punya perasaan lebih sama kamu, dan ketika rasa itu mulai tumbuh kamu sendiri yang mencabutnya secara kasar dari sini,” gadis itu megang dadanya, ”ketika aku mulai percaya sama kamu, ketika aku mulai sayang sama kamu, kamu ngerubah semua jadi kekecewaan dan penyesalan, semuanya udah jelas…aku harap kamu bisa ngerti, satu hal lagi…gara- gara kamu aku kehilangan salah satu sahabat terbaikku…aku nggak mau ketemu sama kamu, entah sampai kapan, ada baiknya kalo kamu ambil kuliah yang jauh dari sini karena itu akan sangat membantuku… ,”gadis itu berlari menjauh.
Pria itu diam tertunduk, wajahnya tampak muram. Kubiarkan dia sendiri, memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kini langkahku yang terhenti setelah mendengar apa yang baru diucapkannya, lirih namun mampu menggetarkan jiwa.
“Taruhan? Kamu salah mengerti…, orang lain mungkin melihat dan maengaguminya tapi aku nggak mungkin ngebiarin mereka memilikinya, membuatnya tergores, karena piala itu hanya untukku…” pria itu menatap nanar ke depan, ”maaf…tapi aku mencintaimu…dengan seluruh jiwaku… .”
Aku berjalan mendekat, mencoba meraihnya, tapi pria itu menghilang. Dia hanyalah sebuah bayangan dari sepenggal kisah yang dulu terlewatkan. Dan inilah sepuing puzzle yang hilang dulu, sebuah puing kecil yang teramat berharga. Kini aku hanya mampu menerima semua tanpa mampu merubahnya, mungkin jika dulu aku tak egois, kisah cintaku takkan berakhir seperti ini. Semua bertambah jelas ketika sebuah bayangan kembali muncul dalam ingatanku. Sebuah kenangan berharga yang tertinggal.
***
Siang itu…
“Kak Rio…!” teriakku sembari berlari kecil menikuti langkah lebarnya. Sepertinya dia tak mendengarku, dia terus berjalan menuju kelasnya diujung lorong.
“Al… ,” Sebuah suara menghentikan langkahku, suara cempreng milik sahabatku tersayang, siapa lagi kalau bukan Sivia, akupun berbalik dan menatapnya, mengisyaratkan sebuah Tanya, “apa?”.
“Temenin ke kantin yuk, gue laper nich!”
“Kan ada Agni?”
“Aduh Al, kalo dia mau nggak mungkinlah sekarang gue didepan lo?”
Aku tersenyum menatapnya, ”Ya udah kalo gitu lo ke kantin aja dulu ntar gue nyusul, ehm..gue mau ke kelasnya Rio dulu.”
“Ngembaliin tu jacket?” aku menggangguk, ”ya udah sono gih, gue tunggu di kantin ok! Eh tapi jangan lama- lama lho!”
Ok baby… ,” aku meremas pipi chubby Sivia.
“Aww! Sakit tau! Gini nich kalo udah kena panahnya si cupid…jadi gila kaya lo!”
Aku tertawa sembari melangkah riang menuju kelas Rio. Munkin kata Via barusan ada benarnya, aku memang lagi kasmaran, panah si cupid nampaknya telah tertancap dihatiku. Rio, pria itu benar- benar membuatku terpesona, baik, pintar, tampan, popular dan perhatian. Entah kenapa aku selalu merasa aman dan nyaman bila berada didekatnya, senyumannya membawa sebuah kedamaian tersendiri dihatiku.Tapi…
“Kayanya ada yang lagi kasmaran nih?” ucap Alvin begitu Rio memasuki kelas. Sebuah senyuman kecil tersungging di bibir Rio, misterius, entah menyiratkan jawaban ya atau tidak, pria itu lantas duduk dibagkunya.
“Eits… tunggu dulu! Ngomongin masalah cinta, bukannya kita punya peraturannya?”
“Bener banget men, dan lo… ,” Alvin menatap Rio, tajam, ”lo nggak boleh lupa ama perjanjian kita, lo pacarin dia lalu putusin dalam seminggu, setelah itu terserah lo, mau lo pacarin lagi ya silahkan, mau lo buang ya kita siap menagkapnya, ya nggak men?”
Cakk menggangguk setuju, ”Yoi coy, eh gue kasih tau, ibarat piala, Alyssa tu piala dunia… ,”
“Bola dong?” celetuk Alvin
“Kampret, diem dulu lo! Sampe mana gue tadi?”
“Piala dunia nyet, pikun amat sih lo!”
“Ya bener banget, Alyssa tu ibarat piala dunia, piala tertinggi, terindah dan terpopuler, dan elo Yo, harusnya bangga karena lo dapat giliran pertama megang tu piala.”
“Berarti kalo Alyssa piala dunia, Ashilla piala Championnya donk!”
“Bener banget tu, dan hebatnya cuma lo yang berkesempatan ngedapetin keduanya sekaligus.”
Suara tawa mereka terdengar begitu keras ditelingaku, entah Rio turut bahagia bersama mereka atau tidak, aku tak peduli, yang jelas mendengarnya hatiku benar- benar sakit. Aku hanya digunakan sebagai objek taruhan, mereka memang brengsek, dan aku benci mereka. Rio, nggak akan ada cinta lagi untuknya, karena mulai saat ini namanya akan kuhapus dari hatiku. Pedih, cinta pertamaku kandas sebelum tergapai, bunga cintaku telah tercabut sebelum berkembang.
“Eh lo temen sekelasnya Rio kan?” pria itu menggangguk, ”titip ini ya… .”
“Tapi gue mau ke perpus tu?”
“Lo kasih ntar juga nggak pa-pa, yang penting lo balikin ini ama dia dan bilangin sekalian kalo gue makasih buanget buat semuanya, ok!” pria itu menggangguk.
Thanks ya… ,” aku melangkah menjauh, tanpa menoleh lagi kutinggalkan kelas itu, dan seiring dengan langkahku ini aku juga akan menjauh darinya, menutup segala kisah tentangnya.
***
            Seingatku hanya itulah yang aku dengar dulu tapi entah kenapa bayangan ini terus berlanjut. Sepertinya ada sesuatu hal yang penting yang dulu telah aku lewatkan, dan sekarang sepenggal kisah terlewatkan itu tersaji sangat jelas dihadapanku.
***
Rio memandang kedua sahabatnya bergantian, mereka masih tertawa, entah apa yang lucu, Rio tak mengerti. Sedari tadi dia hanya diam mendengar segala ocehan kedua temannya itu. Beberapa minggu terakhir ini pikirannya terus dikacaukan oleh seorang makhluk cantik bernama Alyssa. Baru beberapa menit berlalu tapi dia sudah merindukan gadis itu, wajah dan senyum manisnya selalu hadir mengacaukan hatinya. Bukan sekali ini dia merasa jatuh cinta tapi baru kali inilah dia dibuat gila karena cinta, Alyssa, gadis itu bagai candu baginya. Rasanya sebulan bila sehari tak bertemu dan rasanya sehari bila sejam tak mendengar suaranya. Ada sesuatu yang kurang bila tak melihat wajahnya, senyumnya, dan tawanya. Rasanya sakit bila melihat kabut menyelimuti mata indahnya, entahlah tapi inilah yang dirasakannya. Melihatnya sedih saja tak bisa apalagi bila harus menyakiti hatinya, rasanya tak mungkin. Lebih baik dia mati daripada harus melihat gadis yang dicintainya terluka.
“Gue rasa semuanya cukup sampai disini!”
Spontan, Alvin dan Cakka menatapnya.
“Tunggu, gue nggak ngerti maksud lo!”
Cakka tersenyum penuh arti, ”Gue udah tebak ini, lo jatuh cintakan sama dia?” Rio diam, menatap lurus sahabatnya, ”gue akuin kalo tu cewek emang punya charisma tersendiri tapi… gila tu cewek pake pelet apaan sih sampe lo bisa kaya gini?” Rio masih diam, ”Oh gue tau sekarang, dulu lo nolak Ashilla bukan karena lo ngangep dia adek kan tapi lo nolak dia karena lo udah jatuh cinta sama sahabatnya, Alyssa?” lanjut Cakka.
“Come on guys, ini nggak mungkin! Terus taruhannya?”
Bullshit ama taruhan! Lo nggak ngerasain yang gue rasain, gue bener- bener jatuh cinta ama dia, dan asal lo tau perasaan ini lebih kuat dari apa yang gue bayangin, gue nggak pernah ngerasaain yang kaya gini sebelumnya, satu hal lagi…piala dunia jauh berada dibawahnya, karena keindahan dan ketulusan hati Alyssa tak tertandingi oleh apapun…dan gue nggak bangga dapet giliran pertama tapi gue akan sangat bahagia kalau dia buat gue!” Rio menatap keluar, memandang langit yang mulai redup, entah kenapa jantungnya berdetak lebih cepat, feelingnya mengatakan kalau ada seseorang yang tengah memperhatikannya tapi dia tak tau siapa, ” Dan masalah Ashilla, gue salah ama dia…gue nggak nyangka kalau dia suka ama gue, gue akuin kalo gue ngedeketin dia karena gue pengen lebih kenal sama Alyssa.”
***
Tangisku pecah tak tertahan, semuanya telah terlambat dan aku tak mungkin bisa merubahnya lagi. Inilah yang mengganjal langkahku, ada sesuatu yang belum selesai. Garis lengkung itu harus diluruskan kembali, dan karena itulah aku disini. Semua harus diakhiri sekarang, Aku, Rio, dan Rara.
***
Matahari terlelap dalam peraduannya, sinar hangatnya menghilang berganti cahaya bulan nan benderang, dan kerlip bintang di angkasa menambah cemerlang suasana malam. Sebuah Jaguar hitam berjalan pelan melalui sebuah gerbang, berhenti didepan sebuah bangunan berlantai empat nan megah, sebuah mobil lain mengikuti dibelakangnya.
“Yo, ngapain kita kesini? Kan bisa besok, lagian gue capek, balik aja yu! Gue yakin lo sendiri juga capek, perjalanan Jogja sini tu nggak sebentar, mending lo istirahat pulang!”
“Bener kata Cakka, balik aja yu…lo pasti capek banget apalagi setelah apa yang terjadi, lo butuh istirahat… .”
“Gue nggak pa- pa, kalian nyante aja! Gue cuma mau liat- liat sebentar…besok gue harus balik ke Jogja.”
Mereka keluar secara bersamaan dari kedua mobil itu, Agni, Sivia, Rara, Alvin, Cakka, Gabriel dan Rio. Angin berhembus seolah menyambut kedatangan mereka.
“Yo? Serius kita masuk nih?”
“Kenapa Vie? Takut? Kan ada Mas Duta, tenang aja aku jagain ko.”
“Takut? Gue lebih takut ama lo daripada setan, secara lo kan nenek moyangnya setan!”
Mereka ringan melangkah memasuki pelataran sekolah, sesekali tawa terdengan diantara celotehan canda mereka, sebuah tawa yang membentengi duka mereka.
“Rasanya baru kemaren gue angkat kaki, tapi ko udah jadi kaya gini?....tapi salut buat make overnya, bener- bener mak nyuss,” Gabriel memandang berkeliling, tatapan matanya terhenti menatap kabut dimata sahabatnya, ”, Ag lo kenapa?”
“Hemm? Gue nggak pa-pa ko,” Gadis itu menghela nafas, menahan sesak dibenaknya, ”gue cuma ngerasa ada yang hilang, itu aja!”
“Ag, gue ngerasain apa yang lo rasain dan…gue juga nggak nyangka kalo…,” suara Sivia tertahan, air matanya jatuh tak terbendung lagi. Agni mendekat lantas memeluk sahabatnya.
***
            Rara berjalan menjauh, benar apa kata mereka, memang ada sesuatu yang berubah ada sesuatu yang hilang. Langkahnya terhenti, sebuah plakat kecil tergantung di atas pintu, Ruang Biologi, dulu ini adalah kelas sahabatnya, disinilah dulu dia menghabiskan waktu istirahatnya, mengobrol dari a sampai z dengan sahabat terbaiknya. Dan sayangnya semua itu berakhir hanya karena sebuah masalah yang nggak penting, Mario, seorang cowok yang lebih populer dengan nama Rio, seorang cowok yang sama- sama mereka cintai.
Siang itu mereka berdua masih bercerita bersama,
“Rara lo kenapa sih, senyum- senyum nggak jelas gitu? Tunggu gue tebak, ehm.. lo habis ditembak cowok ya, ngaku dech!”
“Ify apaan sich! Enggak ko” Ify  tertawa lepas. Nyebelin dech! Kenapa sech dia seneng banget ngegoda aku.
“Bo’ong! Ngaku, lo ditembak sapa?”
“Ify…,” aku yakin saat ini mukaku pasti jadi merah banget kaya kepiting rebus! Kalo nggak, mana mungkin Ify bisa ketawa sampe kaya gitu, huft bĂȘte! Heran dech, ni anak tadi sarapan apa sech ko bisa sinting kaya gini. Ify, lo tau nggak gue sering banget ngiri ama lo, cuma orang buta yang bilang lo jelek, lo selalu ceria, dan lo selalu bersemangat dan sebenernya banyak cowok yang ngejar- ngejar lo, cuma lo-nya aja yang nggak nyadar. Yang primadona sekolah tu elo bukan gue, ”Sebenernya aku lagi naksir seseorang…dia baik banget, dia juga cakep,” keceplosan cerita juga dech.
“Wah gue jadi penasaran nich, tumben- tumbenan lo memuji ketampanan seorang pria, emang dia cakep banget ya? Sama Wu Zun cakep mana?”
“Beda tipis!”
“Siapa sich orangnya? Kitakan udah janji maen rahasia- rahasiaan.”
Ya ampun Ify, lo kan udah kenal dia, tapi bagus dech…itu berarti lo nggak tau kalo dia yang gue taksir, tapi kalau gue bilang ke lo namanya Rio pasti lo langsung bisa nebak secara cuma ada satu siswa yang namanya Rio, aduh gimana nih? Aaha…gue tau! Mario Haling, eM’Ha.
 “Dia kakak kelas kita, pokoknya dia baik, pinter, cakep, ehm…inisialnya eM’Ha, tapi heran dech dia bawel banget kalo aku lagi nyeritain tentang kamu udah ah ntar aja aku cerita lagi kalau kita udah jadian…da Ify!!”
Dan itulah perbincangan terakhir mereka.
Ruang itu tak terkunci, Rara melangkah masuk, tiap langkah yang diambilanya tersirat penyesalan. Air matanya tak berhenti mengalir, perlahan ia meraba bangku kosong itu, bangku milik sahabatnya dulu.
“Harusnya aku tak egois! ify…kamu teman aku…harusnya aku bisa menerima keputusannya…harusnya aku bisa menerima kalau Rio lebih milih kamu, Rio mencintai kamu bukan aku…Ify maafin aku…aku jahat Fy, aku bukan teman yang baik…bahkan aku nggak ada saat kamu butuh aku…Ify maaf!!!”
            Gadis itu tertunduk pilu disamping bangku sahabatnya. Ada hawa yang berbeda dan tiba- tiba angin berhembus, menerbangkan helaian rambut Rara. Gadis itu tergegap, sebuah tangan terasa nyata menyentuh bahunya.
“Ify?” Dia tersenyum, senyuman yang sama seperti dulu, senyuman tulus seorang sahabat.
“Ify…,” Rara merengkuhnya, meluapkan segala rindu yang ada, sejenak melepaskan segala beban yang yang mengganjal dibatinnya, ”Ify maafin aku, aku udah jahat sama kamu, aku tolol banget ya Fy? Aku ngorbanin persahabatan kita cuma karena cowok, harusnya dari awal aku nyadar kalo yang dia suka itu kamu bukan aku…harusnya aku support kamu bukan malah musuhin kamu… ,”
“Rara stop!” suaranya begitu lembut, lirih menenagkan hati, ”Nggak ada yang perlu dimaafin, nggak ada yang perlu ditangisi, yang lalu biarin berlalu… kamu sahabatku dan sampai kapanpun akan seperti itu…,” tatapan matanya begitu tenang, memberikan kedamaian pada orang yang menatapnya, ”…walaupun kita terpisah ruang dan waktu.”
“Sahabat?” Rara mengajukan kelingkingnya, dan Ify menyambutnya.
“Sahabat….forever!!!” ucap mereka bersamaan.
            Jari mereka saling terkait, senyum terkembang dari wajah mereka. Dari awal itulah ikrar mereka, Sahabat untuk Selamanya. Dan ikatan persahabatan itu tak akan usang termakan waktu, tak akan kandas digulung ombak. Takdir boleh lantang berbicara tapi sesuatu yang telah terjalin takkan pupus begitu saja. Biarpun raga mereka terpisah tapi jiwa mereka tetap satu sebagai sahabat. Memory itu akan tersimpan rapi…dalam ingatan, dalam hati, dan dalam jiwa karena friends forever.  
***
Rio berjalan sendiri mengelilingi sekolah, menapaki setiap puing kisah cintanya. Pria itu berhenti sesaat waktu melintasi Ruang Osis, ruangan yang dulu menjadi tempat kekuasaannya, sekaligus menjadi tempatnya mengerjakan bermacam- macam proposal dengan seseorang yang amat dikasihinya. Pria itu kembali melangkah, menikmati setiap detil perubahan yang ada, tapi kali ini langkahnya benar- benar terhenti. Matanya menagkap sebuah sosok yang amat familiar baginya, sosok yang amat dirindukannya.
“Al…,” Rio mendekat, ”kamukah itu Al…?” suaranya bergetar, pilu.
Gadis itu berbalik dan menatapnya, dan tak salah lagi dia memang Alyssa, gadis yang sangat dicintainya, gadis yang mampu menakhlukkan hatinya, dan dialah cinta pertamanya. Rio semakin mendekat, berusaha merengkuh gadis itu.
“Jangan Yo…!” segelintir air mata mengalir melalui pipi gadis itu, ”enggak, ini nggak boleh!” pria itu menggeleng tak mengerti, ”kita beda Yo…maaf… .”
“ Maaf buat apa kasih? Dengar…!” Rio meraih tanga gadis itu, terasa sangat nyata dalam genggamannya, ”aku nggak akan nglepasin kamu, aku nggak akan ngebiarin kamu ninggalin aku begitu aja Al.”
“Yo…”
“Stt…aku mencintai kamu dan aku tau kamu juga ngerasaain hal yang sama, Al… cinta ini tulus, tanpa alasan dan tanpa syarat…aku cuma…”
“Rio…! Ngapain lo sendirian disitu, cabut yuk!” suara Alvin memecah keheningan yang ada. Rio menatap sahabatnya, tak percaya, dia tidak sendiri tapi dia berdua, bersama Alyssa.
Gadis itu melangkah mendekat ke balik punggung Rio, tanggannya terulur, memasukkan sesuatu ke dalam saku jacket Rio lalu berbisik, “Love you too Rio, and I’m so sorry cause I  must go now…goodbye honey…
Angin berhembus pelan seiring hilangnya suara gadis itu, angin yang berbeda, angin yang meninggalkan kenangan. Seolah baru tersadar, Rio berbalik mencari sosok yang sangat dikasihinya itu. Tatapannya berputar ke segala arah, tapi nihil…dia memang telah pergi.
“Yo…balik yuk, udah malem banget nich, gue capek!” ajak Via.
Rio menurut, dia melangkah gontai mengikuti keenam sahabatnya, kepalanya tertunduk, mencoba menelaah apa yang terjadi. Semua terasa semakin jelas saat dia menemukan sebuah kalung berliontin hati disaku jacketnya. Sebuah inisial terukir diliontin hati itu, A&M, Alyssa dan Mario Haling. Biarpun  mereka tak bersatu tapi ada suatu kejelasan yang terungkap, ada cinta di hati mereka.
***
            Mereka melangkah tegap meninggalkan gedung itu. Inilah akhir kisah itu, garis lengkung itu telah lurus kembali dan takkan ada yang mengganjal langkahnya lagi. Walaupun duka hadir menutup segalanya, tapi semua terselesaikan dengan indah, untuknya, untuk sahabatnya dan untuk cintanya. Kepergiannya tidak meninggalkan luka tapi kepergiannya menaburkan cinta. Dia akan tetap hidup dalam hati dan dalam ingatan karena dia adalah cinta.

the end

;;
Free Website templatesFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates